Peraturan dan Kebijakan Terkait Sirkumsisi pada Perempuan di Tingkat Nasional dan Dinamikanya

Peraturan dan Kebijakan di Tingkat Nasional dan Dinamikanya

Peraturan dan Kebijakan di tingkat nasional terkait Praktek Pelukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP),praktik P2GP dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Peraturan dan kebijakan di tingkat nasional ini juga mengalami dinamika dengan beberapa kali revisi dan proses perdebatan yang cukup panjang hingga saat. Sejak dikeluarkan pada tahun 2006, hingga saat ini peraturan tersebut masih menjadi perdebatan untuk menghapuskan atau melestarikan sebagai bagian dari budaya dan tradisi baik di tingkat pemerintah maupun gerakan masyarakat sipil. Mulanya, peraturan ini benar-benar melarang praktik P2GP. Kemudian, peraturan ini diperbarui dengan tidak mem bolehkan tetapi tetap memberi ruang untuk dilakukan oleh tenaga medis terlatih di fasilitas kesehatan dengan prosedur tertentu. Aturan ini kemudian dicabut karena sunat perempuan tidak bisa dilihat sebagai tindakan medis, tetapi tetap masih ada ruang negosiasi melalui Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k (MPKS). 

Secara lengkap, dinamika yang terjadi terkait praktik P2GP antara lain :

  1. Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Nomor HK.00.07.1.3.1047a Tahun 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan;
  2. Menanggapi Surat Edaran tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada Tahun 2008 mengeluarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan. Khitan bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangan khitan bagi perempuan dianggap bertentangan dengan syiar Islam. Fatwa MUI tersebut sebagai salah satu lembaga keumatan di Indonesia, ternyata tidak sejalan dengan pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga keumatan lain di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, yang salah satunya adalah tidak menganjurkan khitan perempuan (Komnas Perempuan, 2014)
  3. Perbedaan pendapat ini ditindaklanjuti Kementerian Kesehatan dengan mengeluarkan Peraturan tentang Sunat Perempuan, Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tertanggal 15 November 2010. Melalui peraturan ini tindakan melakukan sunat perempuan bagi tenaga kesehatan justru ditegaskan atas nama jaminan keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat. Peraturan ini sama sekali tidak menegaskan pelarangan atas pelukaan genital perempuan, malah menjadi petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pelukaan genital perempuan
  4. Adanya perdebatan di organisasi masyarakat sipil dan desakan dari UN, terkait penghapusan praktik P2GP sebagai praktik membahayakan, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014, yang mencabut Peraturan tentang Sunat Perempuan, Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 dan memberi mandat kepada Majelis Pertim bangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan P2GP, yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan pemotongan alat kelamin perempuan. Temuan lapangan yang terjadi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014, yang terbaru dikeluarkan ini, oleh sebagaian gerakan masyarakat sipil, terutama gerakan perempuan, dianggap ambigu karena menyatakan melarang, tetapi tetap memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan praktik P2GP, selama atas dasar agama dan tradisi, sesuai dengan pertimbangan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k.

  • Di lain pihak, Departemen Kesehatan juga menyatakan bahwa praktik P2GP ini, ketika di ranah agama dan tradisi ini, bukanlah wewenang dan tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan hanya memiliki wewenang dari perspektif medisnya, dan dalam peraturan tersebut telah dinyatakan pelarangannya. Berdasarkan pertemuan Forum SDGs yang dilaksanakan tahun 2016 dan Pertemuan Validasi Hasil Kajian Praktik P2GP yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 dijelaskan bahwa praktik P2GP seringkali dilakukan atas dasar agama dan tradisi, dan ketika dianggap sebagai praktik membahayakan dan kekerasan terhadap perempuan merupakan wilayah wewenang dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak.
  • Sementara itu, berdasarkan hasil temuan penelitian lapangan kualitatif di 10 provinsi 17 Kabupaten/Kota, Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 tidak tersosialisasi dengan baik di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maupun di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait lainnya, termasuk Bagian Hukum Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten Kota. Temuan lain yang cukup menarik adalah banyak bidan, yang masih berpegang pada tata cara sunat, yang terakomodir dalam Permenkes 2010 sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kesehatan tidak menaruh perhatian terhadap peraturan tersebut secara menyeluruh, tetapi hanya berkutat pada teknis medis saja. Lebih lanjut, beberapa Dinas Kesehatan pun menyampaikan bahwa pemerintah kabupaten/kota melihat pentingnya konsistensi dan ketegasan dari Pemerintah Pusat, yakni Kementerian Kesehatan, terhadap peraturan praktik P2GP. Sehingga, mereka memiliki landasan untuk mengikuti aturan dengan baik dan mengedukasi masyarakat, karena sulit mengharapkan pihak-pihak lain yang secara persepsi masih beragam terkait tradisi agama dan budaya.
  • Di sisi lain, ada juga yang melihat bahwa Permenkes yang ada ini tidak begitu kuat untuk mengubah perilaku atau permintaan masyarakat. Untuk itu, Pemerintah perlu mengakomodasi pandangan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama agar peraturan lebih dapat diterima di masyarakat.

Last modified: Tuesday, 29 April 2025, 2:39 PM