Peran Gender
Peran Gender
Peran gender merupakan harapan atau ekspektasi mengenai tingkah laku feminin atau maskulin seseorang yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Harapan harapan tersebut dibangun dan diabadikan oleh institusi dan nilai-nilai dari suatu masyarakat tertentu. Suatu peran gender merupakan suatu set harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir, bertingkah laku dan berperasaan (Santrock, 2013).
Bem (2011) menyatakan ada dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan feminitas dan maskulinitas, yaitu model tradisional dan model non tradisional. Model tradisional memandang feminitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Sedangkan model nontradisional memandang feminitas dan maskulinitas bukanlah suatu dikotomi, sehingga memungkinkan untuk pengelompokan yang lain yang disebut androgini, dimana seorang perempuan atau laki-laki bisa memiliki ciri-ciri feminitas sekaligus ciri-ciri maskulinitas. Maskulin dan feminin yang selanjutnya disebut dengan peran jenis (sex role) pada mulanya muncul dari pembagian peran yang didasarkan pada jenis kelamin (sex) oleh masyarakat. Maskulin dan feminin juga dikatakan sebagai stereotipe, pengertian stereotipe adalah pelekatan sifat terhadap individu / kelompok tertentu (Bem, 2011).
Sedangkan menurut Dusek (2006) identitas peran gender adalah stereotipe sosial yang berlaku untuk perilaku laki-laki dan wanita, sebagian di dasarkan pada kriteria biologis dan sebagian besar melibatkan belajar stereotipe sosial yang diajarkan oleh orangtua, teman sebaya, dan agen institusi sosial lain yang diperkuat. Lebih khusus lagi, Burns (2013) menyatakan bahwa identitas peran gender adalah konseptualisasi mengenai derajat ke-maskulin-an dan ke-femininannya sendiri dan sejauh mana individu tersebut cocok dengan keyakinan yang disetujui publik mengenai karakteristik- karakteristik yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan.
Bagong Suyanto (2010) menjelaskan gagasan Engels tentang konsep gender bahwa perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, dan konstruksi sosial, kultural, dan keagamaaan bahkan melalui kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang begitu panjang itulah maka lama-kelamaan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi. Demikian pula sebaliknya, sosialisasi konstruksi sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya memengaruhi perkembangan fisik dan biologis masing- masing jenis kelamin.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah- olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan- perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih, 2010).
Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tidak pernah digugat. Jadi kalau secara biologis atau kodrat kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut.