Proses Sosialisasi Gender
Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan
dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu,
gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang
membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam
ini dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender
(gender socialization). Sebagaimana halnya
dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam
soisalisasi gender agen penting yang berperan
pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain,
sekolah, dan media massa.
Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
- Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keluargalah yang mulamulamengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui proses pembelajaran gender, yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
- Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki
sudah berawal semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir,
bayi perempuan sudah sering diberi busana yang jenis dan
warnanya semakin mencolok manakala usia mereka semakin
bertambah. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung
berbeda, oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki serong
diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan. Dalam
berkomunikasi lisan dengan seorang bayi sang ibu, bapak,
kerabat lain maupun orang dewasa sering memperlakukan
bayi perempuan secara berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi
laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti gagah
atau tampan, sedangkan bayi perempuan diberi julukan
feminim seperti cantik atau manis.
- Salah satu media yang digunakan oleh orang tua
untuk memperkuat identitas gender ialah
mainan, yaitu dengan menggunakan mainan
berbeda untuk tiap jenis kelamin. Dengan
meningkatnya usia anak, jenis mainan yang
berbentuk peralatan rumah tangga seperti
peralatan memasak dan menjahit, sedangakan
anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk
kendaraan bermotor, alat berat, alat
pertukangan atau senjata.
Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
- Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain menjalankan peran cukup besar. Di jumpainya segregasi menurut jenis kelamin anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki, merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
- Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak
laki-laki cenderung memainkan jenis permainan yang lebih
menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan
keberanian sedangkan dalam kelompok bagi perempuan anak
perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih
menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak beranjak
dewasa mereka mulai belajar berbagai teknik menghadap lawan
jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya
bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif. Sedangkan
perempuan dididik oleh sesamanya bahwa perempuan harus
cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan
kehormatannya serta memilih siapa laki-laki yang diterima.
- Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun
menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang
tidak menaati aturannya. Seorang anak laki-laki
yang memilih untuk bermain dengan mainan
anak perempuan dan berkumpul dengan mereka
cenderung dicap “banci” dan menghadapi resiko
dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak
perempuan yang berorientasi pada permainan
anak laki-laki dan bermain dengan mereka, yang
dapat dicap sebagai “tomboy”.
Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
- Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya, misalnya, ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masingmasing dapat diberi pelajaran berbeda. Siswi, misalnya, dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang berbeda dengan siswi.
- Pembelajaran gender di sekolah dapat pula
berlangsung melalui buku teks yang
digunakan. Ada buku teks IPA yang cenderung
mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
serta kesenian. Pun ada buku pelajaran
olahraga dan kesehatan yang dalam
mengajarkan berbagai olahraga mengabaikan
olahragawati dengan hanya menonjolkan
gambar olahragawan.
- Pemisahan yang mengarah ke segregasi
menurut jenis kelamin sering terjadi manakala
siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu
tertentu. Siswi sering dikelompokkan ke
bidang ilmu sosial dan humaniora, sedangkan
siswa cenderung dikelompokkan ke bidang
ilmu pengetahuan alam. Segregasi yang
berawal di jenjang pendidikan menengah ini
cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan
tinggi.
Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
- Media massa ,baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotipe gender. Iklan yang mempromosikan berbagai produk rumah tangga seperti zat pembersih lantai, pembasmi serangga, sabuncuci, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng, misalny acenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam oraganisasi, seperti misalnya peran sebagai respsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbang.
- Gerakan sosial kaum perempuan untuk
memperjuangkan persamaan gender telah mulai
membawa dampak pada dunia periklanan.
Berbagai iklan di media massa kini sudah mulai
menampilkan kepekaan dengan jalan
menghindari stereotipe gender dan menonjolkan
persamaan peran gender. Meskipun demikian,
gerakan tersebut hingga kini masih belum
mampu menanggulangi praktik pemuatan iklan
yang mengandung stereotipe gender.
Dominasi Budaya Patriarki
- Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini laki-laki berkuasa untuk menentukan sistem ini dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks.
- Ada yang meyakini bahwa budaya patriarki sebagai suatu sistem bertingkat yang telah dibentuk oleh suatu kekuasaan yang mengontrol dan mendominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah kelompok miskin, rendah, lemah, tidak berdaya juga lingkungan hidup dan perempuan.
- Sedangkan di indonesia akar patriarki bersumber di berbagai
aspek pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat,
feodalisme dan ajaran agama. Tradisi kolonialisme,
imperialisme, kapitalisme. Seperti contoh di Irian, perempuan di
daerah ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam
keluarga. Urusan keluarga ada pada keputusan perempuan.
Masyarakat mengakui kekuatan perempuan ini, laki-laki
berpoligami tujuan semula adalah unutk meningkatkan
kekuatan hidup mereka. Laki-laki di irian tidak akan merasa
berat bebannya, meskipun memiliki istri lebih dari satu karena
mereka mengurus hidupnya masing-masing. Pemahaman
demikian ini mengubah hubungan yang semula horizontal
mejadi vertikal.
- Budaya patriarki begitu kuat menonjol dan demikian
seolah begitu adanya dan tidak terelakkan. Dari
gambaran-gambaran tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa kondisi hubungan perempuan
dan laki-laki berdasarkan daerah lapangan
pekerjaan keluarga dan masyrakat. Apabila proses
perubahan sosial kita amati, ternyata semua
hubungan perempuan dan laki-laki adalah hubungan
partner. Sistem itu berubah ke arah patrilineal justru
karena pengaruh dari luar seperti feodalisme dan
kapitalisme.
Last modified: Wednesday, 5 March 2025, 3:21 PM