10.3 Analisis Laporan Keuangan

Analisis Rasio Keuangan

Harahap (2007) mengemukakan bahwa rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti).

Rasio menurut Syarifuddin (2003 ) bahwa rasio merupakan alat yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan- hubungan tertentu antara faktor yang satu dengan faktor yang lain dari suatu laporan keuangan.


 

Adapaun rasio rasio yang dapat digunakan seperti :

a. Rasio Solvabilitas

 

Dalam rangka penerapan prudential banking (prinsip kehati - hatian) dalam pengelolaan bank, Bank Indonesia telah memberikan batasan - batasan yang harus dilaksanakan oleh setiap bank yang melakukan kegiatan usaha perbankannya di Indonesia. (Riyadi : 2004 ).

Rasio solvabilitas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.

Rasio solvabilitas dapat diukur salah satunya dengan menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR). Menurut Slamet Riyadi (2004) Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu rasio kewajiban pemenuhan modal minimum yang harus dimiliki oleh bank. Untuk saat ini minimal CAR sebesar 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), atau ditambah dengan risiko pasar dan risiko operasional, ini tergantung pada kondisi bank yang bersangkutan. CAR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ini, mengacu pada ketentuan standar international yang dikeluarkan oleh Banking for International Settlement (BIS).

Menurut Suardana (2007) CAR adalah modal minimum yang cukup menjamin kepentingan pihak ketiga. Modal ini sangat penting bagi kemajuan bank dan dapat digunakan untuk menjaga kemungkinan timbulnya resiko kerugian akibat dari pergerakan aktiva bank yang pada dasarnya berasal sebagian besar dari dana pihak ketiga.


 

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana- dana dari sumber

- sumber diluar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lain

 

- lain. Dengan kata lain CAR adalah ratio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan. (Dendawijaya : 2003 )

Bank Indonesia sebagai regulator perbankan telah mengeluarkan peraturan No.3/2/PBI/2001 tanggal 13 desember 2001 yang mewajibkan bank - bank di Indonesia untuk mempertahankan rasio kecukupan modal serendah - rendahnya 8%. Bagi bank yang CARnya kurang dari 8% diwajibkan untuk menambah modalnya baik berupa modal disetor oleh pemilik atau merger dengan yang memiliki kelebihan/kecukupan modal. Capital Adequacy Ratio (CAR) dapat dihitung sebagai berikut :

CAR = (Modal/ATMR) x 100 % 

Menurut Febrita Putri, Dkk (2015), Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu penilaian terhadap aspek permodalan suatu bank untuk mengetahui kecukupan modal bank dalam mendukung kegiatan bank secara efisien.

Dalam penelitian yang dilakukan Febrina Putri, Bank Konvensional memiliki CAR lebih baik dibandingkan dengan Bank

Syariah, pada Bank konvensional mempunyai rata-rata CAR sebesar 15.93%, lebih besar dibandingkan dengan rata-rata rasio CAR sebesar 13.41%. Semakin tinggi nilai CAR maka semakin bagus nilai kualitas bank tersebut. Jika nilai CAR suatu Bank baik dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia minimum 8%, dapat disimpulkan bank tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutang - hutangnya.

a. Ratio Profitabilitas

Rasio profitabilitas adalah perbandingan laba (setelah pajak) dengan modal (modal inti) atau laba (sebelum pajak) dengan total asset yang dimiliki bank pada periode tertentu. Agar hasil perhitungan ratio mendekati pada kondisi yang sebenarnya (real), maka posisi modal atau asset dihitung secara rata - rata selama periode tersebut.(Riyadi : 2004 ). Rasio profitabilitas dapat ditentukan dengan menggunakan return on assets (ROA) dan Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).

1) Return On Assets (ROA)

Menurut Slamet Riyadi (2004) Return on assets (ROA) merupakan rasio yang menunjukan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total aset bank. Rasio ini menunjukan tingkat efisiensi pengelolaan asset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan.


Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset.

Menurut Febrita Putri (2015), Return on Asset (ROA) yaitu kemampuan bank dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan seluruh modal.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febrita Putri (2015) menunjukan ROA pada bank konvensional lebih baik dibandingkan ROA pada bank syariah. Rata - rata ROA pada bank konvensional 3.15%, lebih besar dibandingkan bank syariah sebesar 1.36%.

Semakin tinggi nilai rasio Return On Asset maka diasumsikan semakin baik kinerja bank dalam mengelola ekuitasnya. Secara umum belum ada batasan minimal ROA ini dianggap baik, namun untuk melihat Return On Asset suatu bank dapat dikatakan baik atau tidak dapat dibandingkan dengan bank sejenis. Rasio ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

ROA = (Laba sebelum pajak/Total Asset) x 100 % 

1) Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

 

Menurut Dendawijaya (2005) rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan mengukur kemampuan bank


 

dalam melakukan kegiatan operasinya.

Biaya operasional terhadap pendapatan operasional digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasionalnya. Semakin kecil nilai BOPO maka semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank.

Menurut Febrita Putri (2015), biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yaitu perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febrita Putri (2015) menunjukan Bank Konvensional memiliki rata - rata sebesar 67.95% lebih kecil dibanding BOPO bank syariah sebesar 88.70%. Hal ini menunjukan BOPO bank konvensional lebih baik dibandingkan bank syariah, karena semakin tinggi nilai BOPO maka semakin buruk kualitas bank tersebut. Pada penelitian ini, mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara BOPO pada bank konvensional dan Bank syariah.

Rasio Beban operasional terhadap pendapatan operasional dapat dihitung dengan rumus :

BOPO = (Biaya Operasional/Pendapatan Operasional) x 100 % 

a. Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban - kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. (Dendawijaya : 2003 )

Rasio likuiditas salah satunya dapat ditentukan dengan menggunakan Loan to Deposit Ratio (LDR) untuk bank konvensional, Finance to Deposit Ratio (FDR) yang digunakan pada bank syariah. Dari penggunakan sebenarnya LDR dan FDR sama, tetapi karena bank syariah tidak menggunakan sistem kredit, tetapi menggunakan pembiayaan.

Berdasarkan surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 penilaian terhadap aspek likuiditas didasarkan pada rasio kredit terhadap dana yang diterima atau lebih dikenal Loan to Deposit Ratio (LDR).

Loan to Deposit Ratio/Finance to Deposit ratio adalah perbandingan total kredit / pembiayaan yang diberikan dengan total dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank. Maksimal LDR yang diperbolehkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 110%.

Loan to deposit ratio adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini menunjukan salah satu penilaian likuiditas bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari loan to deposit ratio suatu bank adalah sekitar 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85% dan 100%.

LDR dapat dirumuskan sebagai berikut :


LDR = Jumlah Kredit yang dberikan x 100 % Total dana pihak ketiga + modal Inti


Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank, bank Indonnesia menetapkan ketentuan sebagai berikut :

1) Untuk rasio LDR sebesar 110 % atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat.

2) Untuk rasio LDR dibawah 110 % diberi nilai kredit 100, artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat.

Semakin tinggi rasio ini, tingkat likuiditasnya semakin kecil karena jumlah aset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya menjadi semakin besar.

Penelitian yang dilakukan Febrina Putri (2015), menunjukan bank konvensional memiliki rata-rata LDR sebesar 82.58% lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata bank syariah sebesar 92.16%. Dapat disimpulkan bank syariah lebih baik dibanding bank konvensional. Dari hasil uji statistik, terdapat perbedaan yang signifikan antara LDR bank konvensional dan LDR bank syariah.

a. Ratio Kualitas Assets

Rasio kualitas asset derdiri dari non performing loan (NPL) pada bank konvensional, dan non performing finance (NPF) pada bank syariah. NPL/ NPF adalah perbandingan antara jumlah kredit yang


 

diberikan dengan tingkat kolektabilitas 3 sampai dengan 5 dibandingkan dengan total kredit yang diberikan. ( Riyadi : 2004 )

Menurut Boy dan Ericson (2005) dalam pengertian sehari - hari, istilah kredit bermasalah disebut non performing loan (NPL) adalah kredit yang kolektibilitas kredit lancar dan kredit dalam perhatian khusus. Berarti kredit bermasalah mencakup kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Implikasi bagi bank sebagai akibat dari timbulnya kredit bermasalah tersebut adalah :

1) Hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari kredit yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba, sehingga mempengaruhi rentabilitas bank.

2) Rasio kualitas aktiva produktif atau bad debt ratio menjadi semakin besar sehingga memperburuk kinerja bank.

3) Bank harus memperbesar cadangan untuk penyisihan penghapusan aktiva produktif yang diklasifikasikan sesuai ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, yang pada akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan sangat berpengaruh terhadap CAR.

4) Return on Assets (ROA) akan menurun.

 

5) Akibat hal - hal tersebut diatas, pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan bank berdasarkan perhitungan metode CAMEL.


 

Menurut Veitzhal (2007), yang dimaksud dengan NPL atau pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang dalam pelaksanaanya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan pihak bank seperti : pengembalian pokok atau bagi hasil yang bermasalah; pembiayaan yang memiliki kemungkinan timbulnya resiko dikemudian hari bagi bank; pembiayaan yang termasuk golongan perhatian khusus, diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi terjadi penunggakan dalam pengembalian. NPL dapat diukur dengan rumus :

 

 

 

Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayar kewajiban, baik berupa bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik

diharapkan dapat menekan NPL sekecil mungkin dengan kata lain tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh kemampuan bank - bank syariah dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit. (Puspita : 2014)

Jika tidak ditangani dengan baik, maka pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensi bagi bank. Karena itu diperlukan   penanganan   yang   sistematis   dan   berkelanjutan.


 

(mahmoeddin : 2004)

Standar terbaik NPL pada Bank Indoenesia yaitu apabila NPL maupun NPF berada dibawah 5%, variabel ini mempunyai bobot 20% dengan nilai yang ditentukan sebagai berikut :

Lebih dari 8%, skor nilai = 0 Antara 5% - 8%, skor nilai = 80

Antara 3% - 5%, skor nilai = 90 Kurang dari 3%, skor nilai = 100