12.3 Penyebab Krisis Perbankan

Batunanggar (2002) menyatakan bahwa terdapat dua kutub utama yang membahas mengenai penyebab krisis finansial termasuk didalamnya krisis perbankan. Pandangan pertama berpendapat bahwa penyebab utama krisis adalah fundamental ekonomi yang lemah dan ketidakkonsistenan kebijakan (Krugman (1998), Mishkin (1999). Pandangan yang kedua berpendapat bahwa akar dari krisis adalah contangion effect dan pasar yang tidak rasional ((Radelet dan Sachs (1998), Furman dan Stiglitz (1998), Stiglitz (2002))
Pandangan kedua mengenai penyebab krisis perbankan adalah contangion effect dibahas lebih lanjut oleh Allen dan Gale (2000) dalam Santor (2003). Dalam pembahasan ini digunakan kerangka dasar Diamond dan Dybvig (1983) mengenai dua tipe deposan. Dalam konteks ini dikembangkan apabila bank dipisah secara spasial, keberadaan goncangan likuiditas individual akan menyebabkan munculnya pasar antar bank. Diasumsikan bila tidak terdapat resiko likuiditas agregat, maka pasar antar bank akan menjamin bahwa goncangan likuiditas regional tidak akan menyebabkan bank menjadi jatuh. Bagaimanapun juga kondisi alamiah dari hubungan antar bank, risk sharing optimal melalui pasar antar bank akan terjadi dan goncangan tidak akan menyebabkan kejadian yang menular. Contangion (penularan) dapat terjadi selama bank mengalami goncangan likuiditas yang tidak diantisipasi yang tidak bisa dijamin dalam pasar antar bank. Goncangan likuiditas dapat menyebabkan sebuah bank jatuh, yang berimplikasi obligasi pasar antar bank akan tidak dibayarkan, karena adanya keterbatasan likuiditas. Keterbatasan likuiditas akan menyebabkan bank lain juga mengalami hal yang sama. Jadi menurut Allen dan Gale, efek contangion tergantung pada struktur pasar yang ada, yang ditetapkan secara eksogen. Jika pasar antar bank tidak sempurna, maka contangion akan terbatas pada bank yang berada dalam wilayah terdekat. Semakin lengkap pasar, maka efek contangion semakin besar, yang berarti semakin banyak bank yang menderita goncangan likuiditas, dengan demikian kesempatan bank untuk gagal semakin kecil karena goncangan dapat dibagikan ke bank yang lebih banyak Lebih lanjut Hardy & Pazarbasioglu dalam Hadad, Santoso, dan Arianto (2003) mengatakan bahwa krisis atau permasalahan berat pada industri perbankan dapat bersumber dari sektor riil, internal sektor perbankan, dan perubahan drastis pada indikator ekonomi tertentu. Indikator ekonomi yang dipandang sebagai penyebab krisis perbankan adalah : (i) penurunan drastis pada pertumbuhan PDB riil, (ii) peningkatan suku bunga riil, (iii) penurunan ICOR, (iv) depresiasi tajam pada nilai tukar, dan (v) peningkatan tajam pada inflasi, ekspansi kredit, maupun capital inflow. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kunt & Detragiache (1998) bahwa krisis perbankan cenderung timbul pada saat kondisi makroekonomi memburuk. Pertumbuhan PDB yang rendah sangat berkaitan dengan peningkatan resiko pada industri perbankan. Selain itu, peningkatan resiko pada industri perbankan juga dapat berasal dari laju inflasi yang tinggi dan upaya stabilisasi laju inflasi akan mengakibatkan peningkatan tajam pada suku bunga riil yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan.

Goldstein dan Turner (1996) menjelaskan aktor-faktor yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan secara lebih rinci sebagai berikut:
1. Ketidakstabilan kondisi ekonomi makro baik eksternal maupun domestik.
• Ketidakstabilan di dalam perekonomian dapat muncul dari kondisi eksternal dan domestik. Salah satu sumber eksternal dari ketidakstabilan adalah term of trade (TOT). Ketika TOT turun dengan tajam, maka kemampuan pelanggan untuk memperoleh jasa pinjaman menjadi terganggu. Caprio and Klingebiel (1996) menunjukkan bahwa 75% dari negara sedang berkembang, mengalami krisis perbankan akibat penurunan TOT setidaknya sebesar 10%. Sedangkan Kaminsky dan Reinhart (1995) mengidentifikasi bahwa masalah TOT menjadi sumber dari adanya krisis perbankan di negara industri kecil dan emerging market. Ketidakstabilan TOT biasanya terjadi di negara yang memiliki konsentrasi ekspor yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan kurang dilakukannya diversifikasi ekspor, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi harga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara yang memiliki diversifikasi ekspor rendah biasanya lebih mudah terkena krisis perbankan.
• Sumber ketidakstabilan eksternal yang lain adalah ketidakstabilan suku bunga yang akan berpengaruh pada aliran modal swasta. Pengaruh dari ketidakstabilan suku bunga tidak hanya pada biaya peminjaman tetapi juga pada daya tarik investasi suatu negara. Sterilisasi aliran modal masuk, mendorong deposito bank dan menarik bank untuk menaikkan pinjaman meskipun pada tingkat kualitas kredit yang rendah. Ketika terjadi aliran modal keluar yang tidak diharapkan akibat hilangnya kepercayaan, maka akan menyebabkan penarikan deposito bank yang akhirnya akan menyebabkan “fire sale” dari aset bank.
• Sumber masalah eksternal berikutnya adalah ketidakstabilan real exchange rate (RER). Ketidakstabilan RER menimbulkan kesulitan bagi bank baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kesulitan langsung terjadi ketika terdapat ketidakcocokan mata uang atau ketidakcocokan jatuh tempo antara aset dan kewajiban bank. Sedangkan secara tidak langsung terjadi ketika ketidakstabilan ER menciptakan kerugian yang besar bagi peminjam. Kaminsky dan Reinhart (1995) menemukan bahwa apresiasi yang tajam pada RER menyebabkan terjadinya krisis perbankan. Hal ini disebabkan karena adanya efek yang berkebalikan dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh di sektor perdagangan, dan juga kemungkinan disebabkan karena suku bunga domestik yang tinggi berhubungan dengan apresiasi ER atau berkaitan dengan disinflasi yang mendorong penduduk untuk mendenominasi pinjamannya dengan mata uang asing, yang menaikkan resiko nilai tukar asing.

Sumber domestik dari ketidakstabilan makro ekonomi berasal dari inflasi dan pertumbuhan yang tidak stabil. Kondisi alamiah perbankan yang menyebabkan bank rentan adalah perubahan harga yang relatif besar dan hilangnya kepercayaan. Karena Banker diasumsikan mengetahui kepatutan dipercaya oleh peminjam lebih baik dari yang lain, maka pinjaman mereka bersifat tidak likuid dan susah untuk dinilai di pasar. Bank akan memberikan pinjaman jangka panjang dari dana jangka pendek. Bank beroperasi dengan leverage yang tinggi (kapital yang rendah) dan cadangan yang dipenggang dalam bentuk kas yang relatif kecil. Deposito membutuhkan jaminan dapat diambil dengan segera dan bersifat likuid. Bila terjadi ketidakstabilan maka akan menyebabkan kerentanan dalam aset dan liabilitas.
2. Terjadinya ledakan pinjaman, penurunan harga aset dan gelombang arus modal masuk. Menurut salah satu aliran pemikiran ekonomi, krisis perbankan disebabkan oleh penciptaan kredit yang berlebihan dan pembiayaan yang tidak aman dan tidak stabil selama masa ekspansi tersebut. Tiga hal yang mendukung pendapat ini adalah (i) ledakan pinjaman bank, (ii) turunnya harga ekuitas bank, dan (iii) adanya arus modal masuk yang besar mendorong berkembangnya sektor perbankan yang sangat cepat. Ketiga kondisi ini dapat menimbulkan krisis perbankan apabila (i) ledakan pinjaman disalurkan secara terkonsentrasi pada satu sektor, dan (ii) terjadi penurunan harga aset yang pada akhirnya akan menekan nilai pasar dari kolateral. Secara empiris ditemukan bahwa krisis perbankan di Amerika latin, seperti juga di beberapa negara industri (Finlandia, Norwegia, Swedia, Jepang dan USA), disebabkan karena adanya ledakan pinjaman bank (Gavin dan Hausmann, 1996). Kaminsky dan Reinhart (1995) menyatakan bahwa ledakan pinjaman merupakan alat prediksi yang cukup baik dari kemungkinana terjadinya krisis perbankan.
3. Kenaikan liabilitas bank dengan ketidakcocokan jatuh tempo atau ketidakcocokan mata uang yang besar. Salah satu indikator pendalaman finansial sebagai bentuk dari pengembangan ekonomi adalah meningkatnya rasio moneter agregat dalam arti luas terhadap GDP. Namun tidak seluruh kenaikkan bermanfaat. Beberapa kondisi ini akan menyebabkan sistem perbankan menjadi rapuh yaitu (i) Jika kenaikan liabilitas bank relatif sangat cepat terhadap ukuran
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 10
ekonomi dan stok cadangan internasional, (ii) Jika aset bank berbeda secara signifikan terhadap liabilitas bank seperti likuiditas, jatuh tempo dan denominasi mata uang, (iii) Jika kapital bank dan atau provisi kerugian pinjaman tidak dikembangkan untuk mengkompensasi ketidakstabilan aset bank, dan (iv) Jika ekonomi mengalami goncangan yang besar

  1. Secara empiris Honohan (1996) menemukan karena adanya inovasi teknologi dan deregulasi, maka rasio M2 terhadap GNP pada 59 negara sedang berkembang mengalami kenaikan tajam dari 28% menjadi 35%, namun tidak diimbangi dengan kenaikkan kapital bank, maka menimbulkan terjadinya krisis perbankan. Penelitian yang dilakukan oleh Calvo dan Goldstein (1996) melihat adanya kenaikan rasio M2
  2. Calvo dan Goldstein (1996) beragumentasi bahwa kenaikan teknologi dan informasi dan dikombinasikan dengan liberalisasi keuangan, mempermudah penduduk untuk memilih alternatif komposisi mata uang di dalam deposito bank. Penelitian ini menemukan ternyata Dolarisasi deposito bukan merupakan pemecahan masalah, karena deposan akan menjaga dananya dalam bank domestik hanya jika mereka percaya bahwa sistem perbankan memiliki akses yang cukup kepada cadangan internasional untuk menutup likuidasi terhadap dolar. Ketika suku bunga domestik tinggi, godaan untuk sistem perbankan dan pelanggan bank untuk mendemoninasi hutang dalam mata uang asing menjadi kuat. Secara singkat bank mungkin memiliki sumberdaya untuk jangka pendek, berupa dana dengan denominasi mata uang asing dalam pasar antar bannk untuk membiayai pinjaman bank jangka panjang. terhadap GNP pada tahun 1989-1994 di Meksiko dan penurunan cadangan internasional pada tahun 1994, menimbulkan kesenjangan antara liabilitas bank yang likuid dan stok mata uang asing yang tersedia, hal ini memacu terjadinya krisis perbankan.
  3. Hal yang sama terjadi pada resiko ketidakcocokan jatuh tempo yang tinggi pada bank di emerging market karena mereka tidak memiliki akses yang cukup untuk memperoleh dana jangka panjang (pada sisi liabilitas), tidak menerima asistensi yang memadai dari pasar sekuritas untuk meningkatkan likuiditas dan untuk memecahkan masalah resiko (pada sisi aset) dibandingkan dengan bank di negara industri
  4. 4. Ketidakcukupan persiapan liberalisasi finansial. Negara sedang berkembang dipandang tidak cukup memiliki kesiapan dalam menghadapi liberalisasi finansial. Ketidaksiapan ini akan menaikkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Ketika suku bunga diliberalisasi, bank mungkin kehilangan proteksi atas apa yang selama ini dinikmati dari regulasi struktur suku bunga, dimana suku bunga jangka pendek dijaga dibawah suku bunga jangka panjang. Selama masa transisi suku bunga cenderung meningkat. Tingkat ekspansi kredit yang cepat sering terjadi secara ironis dengan suku bunga riil yang tinggi dalam liberalisasi finansial. Peningkatan restriksi dalam pinjaman bank sering menghilangkan permintaan kredit. Penurunan RR menyebabkan bank mengakomodasi kenaikan permintaan pinjaman. Dalam liberalisasi finansial dimungkinkan masuknya kompetitor baru baik asing maupun domestik yang akan menaikkan tekanan bagi bank untuk menyetujui aktivitas yang lebih beresiko. Kemudahan akses terhadap pasar juga menyebabkan bank mengurangi restriksi domestik terhadap aktivitas yang beresiko. Liberalisasi menyebabkan dibutuhkannya pengawasan dan evaluasi yang lebih baik. Ketidaksiapan akan hal-hal tersebut yang dapat menjadi sumber dari krisis perbankan.
    5. Keterlibatan pemerintah yang besar dan kehilangan kontrol atas pinjaman. Kedua hal ini lebih menunjukkan sisi tujuan politis dari pemerintah atau dari kepentingan pribadi dari pemilik atau direktur bank dalam segala aspek operasional bank yang akan memperburuk profitabilitas dan efisiensi perbankan. Meskipun privatisasi mengalami kenaikan, namun kepemilikan bank oleh pemerintah masih signifikan dan terkadang dominan. Berdasarkan penelitian empiris, sistem perbankan dengan kepemilikan pemerintah yang relatif tinggi cenderung lebih terkonsentrasi dan kurang terbuka pada institusi asing. Keputusan pemberian pinjaman pada bank pemerintah cenderung mencerminkan arahan dari pemerintah, sehingga alokasi kreditnya pun relatif pada sektor ekonomi tertentu. Kondisi kerugian yang ditutup oleh pemerintah menyebabkan bank kehilangan sifat kompetitifnya, sehingga sulit bersaing dalam pasar finansial.
    6. Kelemahan dalam kerangka akuntasi, disclosure dan hukum. Adanya perbedaan standar akuntansi antar negara, kesenjangan ekspos data finansial bank, tidak adanya pinalti yang serius dari penerbitan data bank yang tidak akurat, dan
    Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 12
    tidak adanya pengumuman mengenai kesehatan bank merupakan hal yang sering terjadi di emerging market. Kondisi ini menyebabkan pelanggan bank tidak memperoleh informasi yang sempurna, dan pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis perbankan.
    7. Sistem nilai tukar. Gavin dan Hausmann (1996) menemukan sistem nilai tukar peg yang tidak berkesinambungan memberikan kontrabisi yang lebih banyak terhadap ketidakstabilan pertumbuhan di Amerika Latin. Hal ini menimbulkan apresiasi mata uang riil yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan. Sistem nilai tukar tetap juga dipandang menaikkan kerentanan sistem perbankan terhadap goncangan dari luar. Gavin dan Hausmann (1996) berpendapat di bawah sistem nilai tukar tetap, goncangan yang berkebalikan akan menyebabkan defisit BOP, penurunan penawaran uang dan suku bunga domestik yang tinggi. Penurunan kemampuan kredit dan biaya kredit yang lebih tinggi akan menekan bank dan pelanggan dan menambah masalah yang berhubungan dengan goncangan itu sendiri pada kualitas aset bank. Dalam sistem nilai tukar tetap, bank sentral harus menjamin bahwa likuiditas untuk mencegah terjadi krisis perbankan. Dalam sistem nilai tukar fleksibel, goncangan akan dihubungkan dengan depresiasi nilai tukar nominal dan akan menaikkan tingkat harga domestik, yang akan mengurangi nilai riil aset dan liabilitas bank ke tingkat yang lebih konsisten dengan kesanggupan pelunasan hutang bank.