12.4 Dampak Moneter Dari Krisis Perbankan

Dalam subbab sebelumnya dijelaskan bahwa kegagalan sistem perbankan akan menimbulkan eksternalitas negative. Ekternalitas ini muncul dalam berbagai bentuk, antara lain
1. Penggunaan uang publik untuk merekapitalisasi insolvensi perbankan. Publik memiliki keterbatasan dalam mengontrol defisit anggaran. Hal ini karena seolah-olah pengeluaran publik untuk menyelamatkan bank lebih dipandang sebagai transfer domestik daripada biaya ekonomi riil yang dapat mendorong terjadinya defisit anggaran
2. penyelamatan perbankan dapat melemahkan insentif bagi kreditor untuk memonitor perilaku bank pada masa yang akan datang. Jika rekapitalisasi dilakukan dalam
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 13
bentuk pemotongan pinjaman oleh bank dan pelebaran sebaran pinjaman, kondisi ini akan menyebabkan kemampuan perbankan yang lebih rendah dalam penyaluran dana dan biaya kredit perbankan yang lebih tinggi. Akibat selanjutnya adalah akan melemahkan ekonomi riil, terutama untuk perusahaan skala kecil dan menengah yang memiliki alternatif pembiayaan yang lebih sedikit.
3. Secara umum, penurunan aktivitas ekonomi menyebabkan sulitnya mengisolasi efek dari krisis perbankan terhadap output.
4. Permasalahan lain adalah dalam kondisi krisis perbankan akan muncul distribusi informasi yang lebih buruk dan terjadinya masalah adverse selection sehingga menyebabkan kualitas investasi menjadi buruk dan tabungan tidak akan mengalir ke penggunaan yang lebih produktif.
Masalah perbankan juga menciptakan kesulitan dalam kebijakan moneter. Kondisi ini tidak hanya disebabkan karena adanya distorsi antara instrumen moneter dan target akhir, tetapi juga mempengaruhi posisi kebijakan moneter secara keseluruhan. Herrero (1997) menunjukkan bahwa dampak moneter dari krisis perbankan tergantung pada sumber dan skop krisis. Krisis yang disebabkan karena masalah makroekonomi dan kondisi spesifik perbankan secara bersama, cenderung memiliki konsekuensi moneter yang lebih besar dari pada krisi yang murni hanya disebabkan oleh masalah makroekonomi saja atau kondisi perbankan saja. Semakin besar cakupan krisis, dalam bentuk jumlah bank dan aset yang dipengaruhi, secara substansial akan memiliki dampak moneter yang lebih besar. Dampak moneter dari krisis perbankan tergantung pada (Herrero (1997)):
1. Sistem nilai tukar dan tingkat dolarisasi.
• Sistem nilai tukar. Pada negara yang menganut sistem nilai tukar tetap, teori menunjukkan bahwa krisis perbankan akan menyebabkan memburuknya kondisi BOP, menghasilkan penurunan penawaran uang domestik dan menaikkan suku bunga dalam negeri. Penurunan penawaran uang, menyebabkan pengurangan kredit, serta tingginya suku bunga menyebabkan peminjam mengalami kesulitan dalam membayar hutang ke bank. Hal ini bisa dihindari apabila otoritas memutuskan untuk memilih devaluasi dengan konsekuensi inflasi yang besar. Negara dengan sistem nilai tukar fleksibel, krisis perbankan secara umum akan mengkontraksi permintaan uang, hal ini karena terjadinya depresiasi mata uang
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 14
akan menaikkan harga dalam negeri, sehingga akan menurunkan permintaan real money balance. Kondisi ini akan menurunkan nilai pinjaman bank riil dan pembayaran kembali pinjaman yang telah diberikan. Pada saat yang sama nilai liabilitas bank riil akan jatuh karena bank berusaha menjaga kemampuannya dalam membayar hutang (solvensi)
• Tingkat dolarisasi. Jika suatu negara melakukan dolarisasi penuh, maka devaluasi tidak memiliki dampak terhadap nilai aset dan liabilitas finansial riil. Pada kasus depresiasi mata uang dan terutama devaluasi pada sistem nilai tukar tetap, krisis perbankan membuat peminjam kesulitan untuk membayar hutang jika mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup dalam bentuk dolar. Kondisi ini menciptakan penurunan portofolio pinjaman bank. Dolarisasi tidak hanya menurunkan penggunaan inflasi sebagai alat untuk mengecilkan balance sheet bank, tapi dapat juga berguna bila kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri menurun selama krisis perbankan. Kasus Argentina menunjukkan memegang deposit dalam bentuk dollar akan menolong sistem perbankan setidaknya bank berusaha untuk menjaga depositonya dan membuat permintaan uang luar negeri lebih stabil. Bila perbankan tidak memmiliki deposito dalam mata uang asing akan mendorong munculnya sistem off-shore banking yang biasanya akan menaikkan ketidakstabilan deposito selama masa krisis.
2. Ketidakstabilan permintaan uang. Jika negara memiliki permintaan uang yang relatif stabil, kondisi ini akan menfasilitasi penerapan kebijakan moneter selama krisis perbankan. Negara yang mengalami ledakan konsumsi akan mengalami permintaan uang yang lebih tidak stabil dibanding dengan negara yang mengalami ledakan output. Hal ini disebabkan karena permintaan uang cenderung lebih berkorelasi dengan pengeluaran dibandingkan dengan output atau pendapatan.
3. Struktur sistem perbankan dan karakteristik institusionalnya, terutama dalam periode krisis. Semakin besar pangsa deposito dalam bank asing dan dalam bank pemerintah, maka deposan merasa memiliki jaminan pemerintah, sehingga deposito semakin stabil. Hal ini karena bank asing dan bank pemerintah cenderung dipandang oleh publik sebagai bank yang aman. Dalam negara miskin dampak moneter dari krisis lebih terasa karena intermediasi keuangan hanya dilakukan oleh sistem perbankan saja. Adanya asuransi deposito juga dipandang
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 15
dapat membatasi pengurangan deposit base selama masa krisis tapi tidak dapat mengembalikan kepercayaan dalam situasi krisis yang sistemik.
4. Struktur sektor finansial. Pengalaman Argentina dan Paraguay menunjukkan bahwa adanya bank asing dapat menahan pangsa deposit yang besar yang akan membuat deposan memperoleh oportunitas dari “flee to quality”, dan kondisi ini akan membatasi pengurangan deposito selama masa krisis. Adanya skema asuransi deposit juga menjadi hal yang penting dalam krisis perbankan. Adanya skema asuransi deposit ini akan menaikkan kepercayaan pelanggan.
Berdasarkan faktor yang akan menentukan besar kecilnya dampak moneter akibat terjadinya krisis perbankan, lebih lanjut Herrero (1997) menunjukkan dampak moneter dari krisis perbankan adalah sebagai berikut:
1. Kredit dan moneter agregrat menjadi relatif tidak stabil dalam masa krisis, terutama jika kredit dan moneter terus tumbuh sampai terjadinya krisis. Hal ini biasanya terjadi pada negara yang mengalami liberalisasi keuangan tanpa penguatan supervisi perbankan.
2. Velositas pendapatan cenderung turun sebelum krisis perbankan dan naik setelah krisis. Hal ini konsisten dengan hipotesis stabilitas permintaan uang jangka panjang selama masa krisis. Dalam jangka pendek, meskipun permintaan uang tidak stabil, perubahan kecepatan pendapatan dapat terjadi dalam masa krisis.
3. Multiplier uang cenderung mengalami kenaikan sebelum krisis karena penurunan rasio cadangan terhadap deposito akibat adanya pengurangan RR (misalnya di Argentina) dan penurunan ekses reserves (misalnya di Venezuela). Namun di kasus lain Estonia dan Lithuania, multiplier mengalami penurunan sebelum krisis. Hal ini berkaitan dengan kenaikan tajam dari rasio mata uang terhadap deposito sebelum krisis dan akumulasi ekses reserve karena regulasi pengetatan pinjaman. Selama masa krisis, pergerakan yang tajam dari multiplier uang terjadi di semua negara yang diteliti. Hal ini bisa disebabkan karena perubahan cadangan dan permintaan mata uang.
4. Mekanisme transmisi kredit dan suku bunga cenderung terdistorsi selama krisis perbankan. Jalur kredit menjadi kurang efektif sehingga permintaan kredit menjadi lebih inelsatik karena pengurangan masalah moral hazard terhadap pinjaman yang buruk di bank. Jalur suku bunga akan terintangi karena ketidakmampuan bank
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 16
untuk menyesuaikan pinjamannya sebagai respon atas kebijakan moneter. Mekanisme transmisi cenderung berubah setelah krisis karena perubahan struktur sistem perbankan, dalam bentuk jumlah bank dan konsentrasi aset dan liabilitias
5. Krisis perbankan secara umum memiliki dampak negatif ke sistem pembayaran. Hal ini bisa disebabkan karena hilangnya kepercayaan terhadap commercial paper dari bank yang biasanya digunakan sebagai alat tukar