12.5 Resolusi Atas Krisis Perbankan

Krisis perbankan memiliki dampak yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan. Perkonomian yang semakin memburuk akibat terjadinya krisis perbankan tentu akan menimbulkan permasalahan yang lebih buruk apabila tidak ditangani dengan baik. Meskipun hasil penelitian OECD (2002) menunjukkan bahwa bank sentral atau pemerintah akan segera melakukan intervensi ketika krisis perbankan dimulai untuk mensuplai likuiditas. Intervensi bank sentral bertujuan untuk mendukung ketersediaan likuiditas. Namun dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa di sebagian besar negara, kepemilikan pemerintah hanya merupakan pilihan akhir untuk jangka pendek sampai pembeli swasta ditemukan. Dengan demikian diluar intervensi pemerintah, pasti diperlukan langkah-langkah strategis yang merupakan resolusi atas terjadinya krisis perbankan. Dalam subbab ini akan dikemukakan beberapa langkah, dari beberapa hasil penelitian empiris. Langkah penyelesaian krisis perbankan negara satu dengan negara lain akan bervariasi, tergantung pada kondisi krisis yang terjadi di negara tersebut. Penelitian Goldstein dan Turner (1996) menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan krisis perbankan diperlukan penguatan sistem perbankan itu sendiri. Goldstein dan Turner (1996) melakukan penelitian di negara emerging market dan menganjurkan kebijakan yang dapat digunakan untuk memperkuat sistem perbankan adalah:
1. Mengurangi ketidakstabilan. Hal utama yang bisa dilakukan terutama untuk emerging market adalah : (i) mengurangi faktor yang menyebabkan ketidakstabilan melalui pengawasan dalam negeri, (ii) mengurangi munculnya ketidakstabilan melalui diversifikasi, (iii) pembelian asuransi untuk menghindari ketidakstabilan, dan (iv) memegang cadangan sumber daya keuangan yang lebih besar untuk menghindari kerugian. Dari segi makro ekonomi, kombinasi antara kebijakan fiskal dan moneter diharapkan mampu meredam ketidakstabilan ekonomi makro.
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 17
2. Pertahanan terhadap ledakan pinjaman, kegagalan/penurunan harga aset dan aliran modal swasta. Untuk mencegah terjadinya ledakan pinjaman, maka negara perlu mengelola kebijakan ekonomi makro dan nilai tukarnya karena berhubungan dengan aliran modal swasta. Montiel (1996) menyatakan beberapa hal berikut yang perlu dipertimbangkan dalam mencegah terjadinya ledakan pinjaman, penurunan harga aset dan aliran modal swasta:
• Mengatur atau memajaki aliran modal masuk misalnya dengan restriksi kuantitatif terhadap pinjaman asing, mensyaratkan bank dengan liabilitas mata uang asing untuk menjaga accountnya di bank sentral
• Meskipun penghapusan restriksi aliran modal keluar dalam jangka panjang memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan, tetapi tidak memberikan kontribusi untuk solusi masalah aliran modal masuk
• Sterilisasi dalam skala besar mampu untuk mencegah pertumbuhan monetary base, tapi tidak efektif dalam mengisolasi pasar dari pengaruh finansial eksternal
• Negara yang menganut nilai tukar nominal fleksibel dan menggunakan kebijakan fiskal dan moneter ketat untuk membatasi inflasi (misalnya Bolivia, Costarika, Indonesia, Korea, Malaysia dan Thailand) meunjukkan tanda terjadinya apresiasi nilai tukar dan ledakan konsumsi, yang merupakan faktor yang sering menaikkan terjadinya krisis keuangan.
• Hal lain untuk menjaga ledakan pinjaman adalah dengan reserve requirement (RR). Namun RR mendapat kritik karena (i) RR memberikan beban biaya ke bank, sehingga bank terdorong untuk mencari substitusi bentuk likuiditas lain untuk deposito bank, bisa dari pinjaman pemerintah maupun bank sentral, (ii) RR tidak membuat perbedaan antara bank yang lemah dan kuat. RR menurunkan daya tarik deposito dan pinjaman pada semua bank. Hal yang lebih baik adalah menfokuskan diri pada pencegahan ledakan pinjaman di bank yang lemah, bank yang undercapitalised, dan yang tidak memiliki sistem internal yang baik mengenai pemberian kredit.
3. Mengurangi ketidaksesuaian likuiditas, jatuh tempo dan mata uang. Ketidakcocokan likuiditas dan jatuh tempo merupaka karakteristik intrinsik dari perbankan. Infrastruktur institusional dan peraturan misalnya asuransi deposito,
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 18
official lender of last resort, pasar antar bank, likuiditas dan RR untuk bank perlu disusun untuk mengurangi terjadinya bank run dan mencegah goncangan likuiditas .
4. Penyiapan liberalisasi finansial yang lebih baik. Dua hal utama yang dapat dilakukan adalah (i) bila masuknya bank baru atau privatisasi dari bank pemerintah merupakan bagian dari proses liberalisasi, maka penting untuk menjamin bahwa pemilik baru atau manajer bank lolos dari fit and proper test, dan (ii) supervisi bank perlu dikuatkan sebelum liberalisasi
5. Penurunan keterlibatan pemerintah. Empat hal yang dapat dilakukan adalah (i) adanya transparansi keterlibatan pemerintah dalam sistem perbankan. Opportunity cost dari keterlibatan pemerintah dipublikasikan, sehingga masyarakat dapat mengetahui perbedaan kinerja bank swasta dan bank pemerintah, (ii) bank pemerintah beroperasi seperti perusahaan komersial, meskipun terkadang budaya internal cukup sulit diubah, (iii) bila diasumsikan arahan pemerintah terhadap alokasi dana tidak dapat dihindarkan maka perlu adanya skala prioritas, dan (iv) dilakukannya privatisasi kepemilikan bank pemerintah.
6. Penguatan kerangka akuntansi, disclosure dan hukum
7. Pengelolaan sistem nilai tukar yang baik
Di lain pihak Hoggarth (2003) dalam penelitian menyusun skema pohon keputusan untuk penyelesaian krisis perbankan sebagai berikut:

1. Penyelesaian tanpa bantuan. Penyelesaian krisis perbankan dapat dilakukan oleh sektor swasta sendiri, yang berarti tidak menggunakan bantuan pihak pemerintah. Bentuk penyelesaian ini adalah dengan menambahkan dana dari pemilik yang ada atau dari pihak lain. Kondisi ini sebenarnya merupakan solusi paling baik, karena akan mengembalikan ke posisi semula dan tidak terdapat biaya langsung terhadap pembayar pajak. Namun solusi dari sektor swasta sendiri terkadang sulit dilakukan karena ukuran perusahaan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan juga mempengaruhi kemampuan mencapai solusi sektor swasta. Dalam kondisi ini status bank tidak mengalami perubahan. Penyelesaian tanpa bantuan tetapi menyebabkan status bank berubah dapat dilakukan melalui merger dengan sektor swasta, atau di take-over oleh pihak swasta yang lebih sehat kondisinya.
swasta tidak mungkin dilakukan maka pilihan berikutnya adalah likuidasi. Dalam likuidasi bank dinyatakan insolvent atau tidak mampu membayar hutang-hutangnya, tutup dan deposan diberi kompensasi. Likudiasi dilakukan bagi seluruh aset yang dimiliki bank. Dalam sebagian besar kasus, deposan berada dalam posisi yang tidak aman dan kreditor hanya membayar selama masih terdapat dana setelah terjadinya likuidasi.
2. Penyelesaian dengan bantuan. Campur tangan pemerintah melalui bank sentral sebagai lender of last resort (LOLR) biasanya dilakukan untuk situasi yang bersifat sistemik dalam periode yang terbatas. Restriksi ini dilakukan karena pada dasarnya LOLR merupakan bank yang tidak likuid tetapi secara fundamental mampu membayar hutang. Bentuk yang lain adalah asistensi bank terbuka dalam bentuk provisi kapital atau melalui pembelian aset non-performing dari bank. Asistensi bank terbuka sering membutuhkan suntikan modal sebelum masalah krisis terselesaikan, akibat biaya fiskal yang besar. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melakukan asistensi untuk merger atau akuisisi. Merger menyediakan kontinuitas bisnis bagi peminjam dan deposan. Merger dapat distrukturkan dalam berbagai bentuk, tergantung pada ukuran dan kompleksitas kerusakan bank. Bank juga dapat dipecah, dimana deposito, cabang dan aset dijual secara terpisah. Pilihan lain adalah melakukan bridge bank, yaitu bentuk kepemilikan bank oleh pemerintah secara temporer. Dalam kondisi ini untuk sementara pemerintah dapat menjaga jalannya bisnis perbankan, sampai dengan bank siap untuk dijual. Nasionalisasi juga merupakan bentuk penyelesaian krisis perbankan. Pemerintah akan mengambil alih peran dan otoritas, biasanya melalui pengurangan kepentingan stakeholder dan perlindungan bagi deposan dan kreditur. Permasalahan dalam nasionalisasi adalah (i) biasanya manajer pemerintah tidak mendapat insentif yang sama dengan manajer swasta, (ii) alokasi kredit menjadi tidak efisieni karena banyaknya pinjaman non-performing, (iii) biaya operasi yang menjadi relatif tinggi.