12.6 Hasil Studi Empiris Mengenai Krisis Perbankan

Dalam penelitian Turner (1996) ditemukan bahwa krisis perbankan yang terjadi di Negara berkembang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara maju. Caprio and Klingebiel (1996) dalam Turner (1996) menunjukkan bahwa negara industri yang mengalami krisis perbankan adalah Spanyol (1977-85), dengan kerugian mencapai 17% dari GDP, Finlandia (1991–93) dengan kerugian sebesar 8% of GDP, Swedia (1991) sebesar 6% dan Norwegia (1987–89) sebesar 4%. Sedangkan krisis tabungan dan pinjaman di Amerika (1984–91) menelan biaya sebesar 3% dari GDP. Di Negara sedang berkembang, diidentifikasi bahwa sebagian besar biaya resolusi diatas 10% dari GDP, temasuk di dalamnya, Venezuela (18%), Bulgaria (14%), Mexico (12–15%) dan Hungaria (10%). Sedangkan Argentina, Chili mengalami kerugian lebih besar dari 25% dari GDP. Studi lain yang dilakukan oleh Lindgren et al. (1996) and Sheng (1996) dalam Turner (1996) menunjukkan bahwa negara sedang berkembang mengalami dampak krisis perbankan yang lebih besar.

Penelitian Lindgren et al (1999) dalam Hoggarth (2003) mengenai krisis di asia timur menunjukkan bahwa adanya blanket guarantee temporer bagi seluruh deposan dan kreditur lain mampu menghentikan bank run oleh deposan domestik meskipun tidak menjamin rollover liabiitas asing. Sedangkan penelitian De Luna-Martinez (2000) dalam Hoggarth (2003) menunjukkan bahwa selama krisis di Korea dan Meksiko tidak terjadi bank run karena adanya blanket guarantee dari pemerintah. Jadi blanket guarantee biasanya disediakan dalam krisis yang sistemik untuk menghentikan bank run. Tabel berikut akan menunjukkan dukungan likuiditas, jaminan deposito, biaya fiskal dan kerugian output akibat penyelesaian 33 kasus krisis perbankan sistemik pada tahun 1977-2002.

Blanket government guarantee merupakan bentuk lain dimana bank pemerintah menguasai lebih dari 75% aset sistem perbankan
3) Krisis mata uang menggunakan definisi Frankel dan Rose (1996), yaitu depresiasi mata uang domestik nominal lebih dar 25%
4) Non performing loans adalah jumlah pinjaman yang bermasalah, pinjaman dengan resiko tinggi dan pinajaman yang non-recoverable
5) Terdiri dari biaya rekapitalisasi perbankan, pengeluaran pemerintah untuk pemegang liabilitas dan pembelian NPL sektor publik
6) Kerugian output adalah deviasi kumulatif dalam tingkat output selama masa krisis berdasarkan trend 10 tahunan sebelum krisis
Sumber : Hoggarth (2003) Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa dari 33 negara, rata-rata mengalami masa krisis selama 4,3 tahun, dengan kerugian output sebesar 23,1% dari GDP. Rata-rata biaya fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan krisis sebesar 15% dari GDP. Biaya fiskal yang dikeluarkan untuk negara yang hanya mengalami krisis perbankan lebih sedikit (7,8% dari GDP) dibandingkan dengan negara yang mengalami krisis perbankan dan mata uang (17,4% dari GDP). Demikian pula dengan kerugian output yang diderita oleh negara yang mengalami krisis kembar jauh lebih besar daripada yang hanya mengalami krisis perbankan (32,2% dibanding 15,7%). Negara yang menggunakan open-ended LOLR, mengalami masa krisis yang lebih panjang, dan persentase NPL terhadap total pinjaman yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang tidak menggunakan LOLR open-ended. Negara yang mengalami krisis kembar, dan menyediakan blanket deposit guarantee mengalami kerugian output yang lebih besar (37,2%) dibandingkan negara yang tidak menyediakan blanket deposit guarantee (24,7%). Dilain pihak, masa krisis di negara yang menyediakan blanket guarantee lebih pendek (3,9 tahun) dibandingkan dengan negara tanpa blanket guarantee (4,9 tahun). Tetapi sebaliknya negara yang menggunakan LOLR mengalami masa krisis yang lebih lama dan kerugian output yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang tidak menggunakan LOLR.
Penelitian Montreevat dan Rajan (2001) bertujuan untuk mengamati terjadinya krisis kembar di Thailand, yang merupakan efek domino yang dipacu adanya krisis finansial di asia timur pada tahun 1997-1998 serta dampak dari masuknya bank asing ke Thailand. Dari hasil penelitian ditemukan adanya manfaat akibat masuknya bank asing di Thailand berupa pengurangan struktur biaya, peningkatan efisiensi operasional, pengenalan dan aplikasi teknologi baru, produk perbankan, kemampuan pemasaran dan manajemen dan struktur corporate governance. Dengan demikian masuknya bank asing
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 25
ke Thailand meningkatkan fungsi sistem perbankan nasional dan menghasilkan keuntungan kesejahteraan yang positif bagi pelanggan bank. Masuknya bank asing memberikan tambahan keunggulan potensial yaitu:
1. Mengurangi adanya pinjaman “non-commercial” atau “connected” akibat adanya koneksitas politik
2. Selama portofolio bank asing tidak terkonsentrasi pada satu negara, biasanya tidak akan memacu terjadinya krisis spesifik
3. Sistem perbankan dengan diversifikasi aset internasional dapat lebih stabil dan tidak mudah mengalami bank run selama kantor cabang mampu meperoleh pembiayaan dari bank pusat, yang bisa bertindak sebagai lender of last resort
4. Internasionalisasi perbankan dapat menciptakan tekanan domesik pada bank lokal untuk mempertinggi dan membuat harmonisasi dengan prosedur peraturan dan pengawasan yang memiliki standar internasional. Dalam internasionalisasi finansial terdapat dua pendekatan yaitu bertahap dan “cold turkey” atau “big bang”. Pendekatan gradual digemari karena bank domestik juga membutuhkan konsolidasi agar mampu bersaing secara efektif untuk melawan bank multinasional asing yang memiliki dasar modal yang lebih besar dan lebih terdiversifikasi.
Untuk mengatasi krisis di Thailand, dibutuhkan restrukturisasi sektor keuangan dengan cara:
• Mengurangi/menutup bank komersial dan lembaga keuangan
• Melakukan merger terhadap sejumlah institusi
• Menyuntikan dana publik untuk rekapitalisasi eprbnkan
• Melakukan strategi penempatan aset secara sistematik
• Mengijinkan investasi asing masuk di sektor keuangan
Penelitian Batunanggar (2002) melihat krisis perbankan di indonesia merupakan krisis yang terburuk di Asia timur dan memakan biaya yang sangat besar. Pengalaman Indonesia dalam krisis finansial dan perbankan merupakan masalah yang menelan banyak biaya dan rumit. Tidak seerti negara lain di Asia timur, krisis perbankan dan finansial yang terjadi di Indonesia diikuti dengan krisis politik, sehingga krisis perbankan menjadi lebih sulit dikelola. Terdapat dua tahap yang diharapkan dapat dikembang mekanisman sebagai mekanisme penyelasasian krisis perbankan di Indonesia yaitu :
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 26
• Penggantian secara bertahap blanket guarantee dengan skema asuransi deposito yang ekspisit dan terbatas
• Penetapan fungsi LOLR yang lebih baik dan lebih transparan dalam waktu normal maupun selama menghadapi krisis yang sistemik.
Asuransi deposito dan LOLR dapat menjadi alat yang penting dalam manajemen krisis, tetapi kedua hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah krisis perbankan. Peran kedua alat tersebut harus didukung dengan stabilitas finansial lain sperti pasar yang disiplin dan supervisi kehati-hatian bank. Untuk menguatkan stabilitas keuangan Indonesia maka program yang dilaksanakan adalah:
• Meningkatkan efektivitas supervisi perbankan
• Restrukturisasi bank dan perusahaan
• Meningkatkan kedisiplinan pasar
• Meningkatkan sistem hukum
• Mengurangi pangsa pemerintah dalam sistem perbankan
Dua opsi kebijakan lain yang penting untuk dipertimbangkan untuk mengatasi terjadinya krisis perbankan di Indonesia adalah:
• Pembatasan hutang dengan denominasi asing oleh institusi finansial dan perusahaan lain untuk mengurangi kelemahan ekonomi akibat resiko krisis mata uang lain
• Penerapan kebijakan untuk mengurangipengambilan resiko oleh bank yang merasa dirinya too big atau too important to fail (akibat koneksitas politis). Hal ini dilakukan dengan mengurangi pengawasan pemerintah yang berlebihan atas bank atau melalui privatisasi dan intensifikasi supervisi terhadap bank-bank yang secara sistematis penting.
Penelitian Hadad, Santoso, dan Arianto (2003) mengenai krisis perbankan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 memberikan pelajaran berharga berupa biaya penyelamatan dan pemulihan industri perbankan yang sedemikian besar hingga mencapai lebih dari 50% PDB Indonesia pada waktu itu. Selain itu, krisis perbankan juga berdampak pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Dalam kajian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi krisis perbankan diwakili oleh faktor sektor riil, sektor perbankan sendiri, dan juga kondisi fluktuatif yang selanjutnya disebut dengan faktor shocks. Dengan mengadopsi model yang dikemukakan oleh Hardy dan
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 27
Pazarbasioglu (1999), Hadad, Santoso, dan Arianto (2003) menerapkan metoda logit pada persamaan yang dibentuk dari beberapa indikator sektor riil, sektor perbankan, dan variabel shocks. Variabel-variabel independen yang digunakan terbagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Variabel sektor riil dalam rangka menjelaskan tingkat efisiensi penggunaan kredit perbankan dan perubahan repayment capacity;
2. Variabel sektor perbankan dalam rangka menjelaskan tingkat ketahanan perbankan terhadap perubahan-perubahan yang signifikan baik pada sisi assets maupun liabilities
3. Variabel shocks yang digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor lain yang secara langsung maupun tidak langsung (melalui sektor riil) akan mempengaruhi kondisi perbankan.
Dengan menggunakan spesifikasi model diatas, setidaknya potensi terjadinya krisis atau severe distress pada industri perbankan dapat diprediksi dengan menggunakan 6 (enam) indikator, yaitu pertumbuhan PDB riil yang melambat, konsumsi swasta yang makin meningkat, penurunan tingkat investasi, depresiasi tajam nilai tukar, pemberian kredit kepada sektor swasta yang makin intensif, dan penurunan jumlah simpanan masyarakat yang berkelanjutan. Peningkatan konsumsi swasta yang diiringi dengan penurunan tingkat investasi dan penurunan PDB riil dapat diartikan sebagai penurunan kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian. Hal tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memperoleh hasil usaha yang akan digunakan untuk membayar kembali kredit yang diterimanya dari industri perbankan.
Selanjutnya, pemberian kredit yang makin intensif dari industri perbankan memperparah kondisi yang sudah ada karena pemberian kredit tidak lagi didasarkan pada kelayakan usaha. Sebagai akibatnya, angka rasio kredit non lancar pada industri perbankan akan makin meningkat dan pada gilirannya mengganggu kinerja bank. Dengan makin terakumulasinya permasalahan pada industri perbankan yang disebabkan oleh permasalahan di sektor riil, kepercayaan masyarakat pada industri perbankan akan terkikis dan sebagai dampaknya terjadi penurunan simpanan masyarakat yang berkelanjutan. Dampak lebih lanjut dari akumulasi permasalahan ini adalah pandangan dari investor luar negeri yang menganggap bahwa indikator fundamental perekonomian
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 28
Indonesia menunjukkan penurunan yang antara lain tercermin dar menurunnya PDB riil dan meningkatnya kredit non lancar perbankan. Sebagai akibatnya, banyak investor asing yang kembali menarik dana yang semula diinvestasikannya dan apabila hal ini terjadi secara besar-besaran dan dalam waktu singkat akan menyebabkan terjadinya tekanan luar biasa pada mata uang domestik sehingga menimbulkan depresiasi tajam pada nilai tukar. Dampak selanjutnya, depresiasi ini akan mengakibatkan turunnya repayment capacity perusahaan-perusahaan dan bank-bank yang memiliki kewajiban dalam valuta asing yang cukup tinggi. Kombinasi faktor-faktor negatif dari sektor riil, perbankan, maupun shocks diatas secara bersama-sama akan memberikan tekanan pada industri perbankan yang pada pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan berat maupun krisis perbankan. Oleh karena itu, perkembangan indikator-indikator tertentu dari setiap sektor diatas dapat digunakan sebagai indikator awal adanya potensi permasalahan pada industri perbankan yang apabila tidak segera ditangani akan dapat mengakibatkan terjadinya krisis perbankan Penelitian Santor (2003) mengenai prediksi terjadi tidaknya krisis perbankan dipandang sebagai sesuatu yang berguna. Motivasi utamanya adalah bila kondisi krisis perbankan dapat diprediksikan maka akan dapat dilakukan tindakan preventif yang memadai. Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari data base IMF, IFS dan WEO (World economic outlook) untuk lebih dari 90 negara dengan tahun 1975-1998. Variabel penjelas yang digunakan untuk memprediksi krisis perbankan adalah pertumbuhan GDP, surplus Current Account, depresiasi mata uang, suku bunga riil, tingkat inflasi, defisit anggaran pemerintah, rasio M2 terhdapa cadangan, rasio kredit swasta terhadap GDP, pertumbuhan kredit swasta riil, pendapatan perkapita, keberadaan asuransi deposito. Hipotesis yang digunakan untuk memprediksi arah hubungan adalah sebagai berikut:
• Kondisi fundamental makro yang buruk akan memberikan pengaruh negative terhadap neraca bank, penurunan neraca CA dan suku bunga yang tinggi akan memberikan pengaruh positif terhadap krisis.
• Inflasi yang tinggi dan depresiasi mata uang akan menaikkan krisis perbankan dan defisit anggaran pemerintah.
Krisis Perbankan: penyebab, resolusi dan studi empiris 29
• Suku bunga nominal yang tinggi secara umum mencerminkan mismanagement ekonomi akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan masalah sistem perbankan.
• Untuk mengontril likuiditas, rasio M2
• Sebaliknya pertumbuhan kredit yang berlebihan akan berakibat kelebihan pinjaman dan akan memperburuk sistem perbankan. terhadap cadangan harus dimasukkan, semakin rendah likuiditas menyebabkan kegagalan yang lebih tinggi
• Semakin baik variabel institusional, misalnya kepastian hukum dan nilai GDP perkaitan yang tinggi akan menurunkan probabilitas terjadinya krisis
• Tanda dari asuransi deposit tidak jelas, karena di satu sisi asuransi deposit akan menurunkan bank run, tetapi di sisi lain akan mendorong masalah moral hazard, dimana akan mendorong peminjam yang beresiko sehingga menyebabkan krisis perbankan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa krisis perbankan berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, inflasi yang tinggi, suku bunga riil yang tinggi, penurunan TOT, hukum dan standar akuntansi yang lemah, dan pendapatan perkapita yang rendah. Hasil penelitian empiris juga menunjukkan bahwa informasi contangion memainkan peran penting dalam memprediksi krisis perbankan di masa yang akan dating. Sedangkan krisis mata uang tidak menyebabkan terjadi krisis perbankan.