13.3 Karakteristik Sistem Keuangan Islam

Pertama, Nilai Ketuhanan. Menurut Yûsuf Qaradhawî, ekonomi Islam adalah
ekonomi yang bercirikan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir
kepada Allah. Penggunaan sarana dan fasilitas dari Allah ini dilakukan melalui hukum dan
syari’at Allah SWT. Ketika seorang muslim menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia
ini, secara langsung ia telah melakukan ibadah kepada Allah, dan merupakan sebuah
kewajiban baginya untuk mensyukuri segala nikmat-Nya yang telah diberikan kepadanya.
Berdasarkan nilai filosofis ini, dalam ekonomi syariah muncul sebuah norma yang disebut
norma al-istikhlâf. Adanya norma istikhlâf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam
ekonomi syariah. Sebab, seorang muslim wajib percaya bahwa ia makhluk Allah, ia bekerja
di bumi Allah, dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana dan prasarana dari Allah.
Seorang muslim bekerja sesuai dengan hukum kausalitas. Jika ia memperoleh harta, maka
pada hakikatnya itu adalah harta Allah yang dititipkan kepadanya. Allah-lah yang
menciptakan harta itu, dan Dia-lah pemilik sejati. Sementara itu, manusia hanya sebagai
penjaga amanah yang telah diberikan kepadanya (Yusuf Qaradhawi, 1997).
Kedua, Nilai Dasar Kepemilikan (al-milkiyah). Konsep kepemilikan dalam Islam
tidak sama dengan konsep kepemilikan dalam faham liberalisme seperti yang dikemukakan
oleh Jhon Locke. Menurut Jhon Locke, setiap manusia adalah tuan serta penguasa penuh atas
kepribadiannya, atas tubuhnya, dan atas tenaga kerja yang berasal dari tubuhnya. Artinya,
kepemilikan yang ada pada diri seseorang adalah bersifat absolut. Oleh karena itu untuk apa
dan bagaimana dia menggunakan harta tersebut adalah mutlak tergantung kepada kehendak
dirinya. Hal ini tidak disetujui oleh Karl Marx. Marx berpendapat bahwa hal yang seperti itu
adalah sangat berbahaya karena akan membawa kepada kehidupan yang eksploitatif dan
penuh konflik (Anwar Abbas, 2004). Berbeda dengan dua pandangan tersebut di atas, Islam
mengakui kepemilikan individual. Di samping itu, Islam pun mengakui akan adanya
kepemilikan oleh masyarakat dan oleh negara. Akan tetapi, kepemilikan tersebut tidak
bersifat absolut, tetapi bersifat relatif. Artinya, bahwa kepemilikan yang ada pada seseorang
atau masyarakat atau negara tersebut bukanlah sepenuhnya milik dan hasil dari usaha mereka.
Akan tetapi, semua itu merupakan amanat dan titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu,
seseorang tidak boleh menghambur-hamburkan hartanya, atau bahkan menuhankan hartanya.
Jika demikian, berarti harta tersebut akan kehilangan fungsi sosial dan nilai manfaatnya
(Anwar Abbas, 2004). Sehingga dalam ajaran Islam, kepemilikan manusia bukanlah
penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, karena pemilik mutlaknya adalah Allah,
manusia hanya diberi amanat dan kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber yang
diamanatkan tersebut.
Ketiga, Keseimbangan (al-Muwâzanah). Sistem ekonomi kapitalis lebih
mementingkan individu dibanding dengan masyarakat. Pada sistem ini seseorang merasakan
harga diri dan eksistensinya. Orang diberi kesempatan untuk mengembangkan segala potensi
dan kepribadiannya. Namun, akhirnya seseorang terkena penyakit egoistis, materialistis,
pragmatis, dan rakus untuk memiliki segala sesuatu, dan orientasi kehidupannya merupakan
profit motif. Dalam ajaran Islam, masalah keseimbangan mendapat penekanan dan perhatian
secara khusus. Tidak hanya adanya keseimbangan antara kepentingan seseorang dengan
kepentingan bersama, antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kepentingan jasmani dan
rohani, antara idealisme dan realita. Akan tetapi juga, keseimbangan antara modal dan
aktifitas, antara produksi dan konsumsi, serta adanya sirkulasi kekayaan (Yusuf Qaradhawi, 1995). Oleh karena itu, Islam mencegah dan melarang terjadinya akumulasi dan konsentrasi
kekayaan hanya pada segelintir orang. (QS. 59 (al-Hasyr): 7) ....supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara kamu... (QS. 59 (al-Hasyr):
7).
Sebaliknya jika terjadi kesenjangan kepemilikan yang tajam antar individu, berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, berarti telah terjadi praktek kezaliman. Untuk
mengantisipasinya, Islam telah menawarkan solusi pemecahan melalui instrumen zakat, infaq
dan sadaqah yang dapat menyentuh dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Keseimbangan
merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku seorang muslim.
Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya, bukan saja antara kepentingan
dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga keseimbangan antara hak dan
kewajiban antara kepentingan individu, masyarakat dan lain sebagainya.
Keempat, Nilai Dasar Persaudaraan dan Kebersamaan (al-Ukhuwwâh wa al-
Isytirâkiyyah wa al-jamâ’ah). Pada paham sosialisme dan komunisme, persaudaraan dan
kebersamaan merupakan nilai yang utama dan pertama. Untuk itu, agar nilai-nilai tersebut
tidak rusak dan tidak terganggu maka kepemilikan individual yang menjadi penyebab
terjadinya perselisihan dan persengketaan harus dihapuskan dan digantikan oleh negara.
Negaralah yang mengatur produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat. Dalam paham
kapitalisme, hal ini tidaklah terlalu menjadi perhatian. Bagi mereka persaudaraan akan dapat
terjadi secara otomatis diluar maksud para pelaku ekonomi itu sendiri, karena perekat
persaudaraan, menurut paham ini adalah kepentingan.
Kedua paham di atas, berbeda dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kebersamaan
merupakan indikator atas keimanan seorang muslim. Nilai-nilai persaudaraan merupakan
konsekuensi logis dari penunjukan manusia sebagai khalîfah fi al-ard, karena penunjukan
tersebut bukan hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, ditujukan
kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Oleh sebab itu, perbedaan ras, etnik, dan bahasa
bukanlah menjadi variabel pembeda di mata Allah SWT (Yusuf Qaradhawi, 1995).
Kelima, Nilai Dasar Kebebasan (al-Istiqlâliyyah). Dalam sistem ekonomi kapitalisme,
setiap individu diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan atau tidak
memanfaatkan harta yang dimilikinya. Juga untuk masuk atau tidak masuk ke dalam pasar,
baik sebagai produsen, distributor, atau konsumen. Atau dengan perkataan lain, tidak ada
yang bisa mengatasi kebebasan seseorang individu kecuali dirinya sendiri. Hal ini tidak dapat
diterima oleh paham sosialis-komunis. Mereka melihat bahwa kebebasan seperti itu akan
membawa kepada tindakan anarkis. Oleh sebab itu, kebebasan tersebut harus ditundukkan
kepada kepentingan bersama (K. Bertans, 2002).
Keenam, Nilai Dasar Keadilan (al-‘adâlah). Keadilan yaitu memberikan setiap hak
kepada para pemiliknya masing-masing tanpa melebihkan dan mengurangi (Yusuf
Qaradhawi, 1995). Persoalannya sekarang adalah siapakah yang berkompeten untuk
menentukan keadilan tersebut? Pada sistem sosialisme dan komunisme, yang menentukan
keadilan itu merupakan otoritas negara, sedang dalam sistem kapitalisme yang berkompeten
adalah otoritas individu. Sementara itu, menurut persepsi Islam yang menetapkan keadilan itu
merupakan otoritas dan kewenangan dari Allah SWT. Dalam masyarakat sosialisme dan
komunisme, yang menjadikan kebersamaan dan kesamarataan sebagai nilai utama, maka
faktor kebutuhan dijadikan dasar untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak. Menurut
paham ini, suatu masyarakat baru dikatakan adil jika semua kebutuhan warganya telah
terpenuhi, terutama kebutuhan sandang, pangan dan papan. Sebaliknya, jika tidak, maka telah
terjadi praktek kedzaliman (K. Bertans, 2002).
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Keadilan
secara umum (Adl’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi
yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum
muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar
hak orang lain. Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang
dengan yang lainnya. Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting dalam system
ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua
dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah
mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem
ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu.
Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang melarang
monopoli, penimbunan harta (al-Ihtikar) dan perintah mengeluarkan zakat dan sedekah (M.
Roem Syibly, 2015).