15.5 Penyelesaian Kredit Macet melalui Pengadilan
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan. Peradilan yang dapat menangani kredit bermasalah yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan.Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan HIR pasal 195 dan selanjutnya. Atas perintah ketua pengadilan ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantara kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.
Pada hakekatnya penanganan perkara kredit macet melalui pengadilan melalui proses yang tidak sederhana. Dalam penanganan permohonan fiat eksekusi atas
perkara kredit macet melalui pengadilan negeri ada beberapa
tahapan yang harus dijalani.
Setiap akan berganti tahap, harus didahului dengan dikeluarkannya Penetapan oleh Ketua putusan
hakim dapat dilaksanakan hanya putusan
condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan. Menurut
Sudikno Mertokusumo6
putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat- alat negara, kekuatan
eksekutorial yang dimaksud
dalam hal ini adalah kepala putusan
yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Prosedur penanganan permohonan Fiat Eksekusi melalui
badan peradilan kurang ideal dan harus menempuh waktu yang cukup lama, padahal perhitungan kerugian bank (bunga) berjalan terus dan tidak dapat ditangguhkan sehingga pada umumnya
proses penanganan Fiat Eksekusi atas kasus kredit macet tidak dapat
ditempuh dalam waktu yang cepat, hal
ini dapat dilihat sejak diberlakukannya Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat banyak perkara tentang
permohonan Fiat Eksekusi
untuk menyelesaikan kasus kredit macet yang diajukan kepada Pengadilan Negeri memakan waktu cukup lama yaiturata- rata memakan waktu hingga2 tahun bahkan
ada juga yang sudah berjalan lebih dari 4 tahun tapi belum dapat dituntaskan,
Pengadilan Negeri, dari penetapan tersebut kemudian dilanjutkan dengan petunjuk dari Panitera Sekretaris Pengadilan kepada pegawai/staf pengadilan untuk melakukan tugasnya.
Hambatan yuridis adalah prosedur penanganan permohonan eksekusi
hak tanggungan harus melalui banyak tahap sehingga penanganannya rumit, memakan waktu lama dan banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
Apalagi dari beberapa
kasus sangat dimungkinkan satu debitur mempunyai
kredit/utang ditempat lain yang memungkinkan juga digugat di Pengadian Niaga.
Dengan kata lain penanganan perkara
kredit macet melalui
badan peradilan melalui badan
peradilan melalui proses yang berbelit-belit dan tidak sederhana. Menurut M. Yahya Harahap5, ditinjau
dari segi Yuridis
asas ini mengandung makna bahwa eksekusi
menurut hukum perdata
adalah menjalankan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun tidak semua putusan pengadilan dapat dilaksanakan dieksekusi sebab pada prinsipnya hanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sajala
yang dapat dilaksanakan (in kracht vangewijsde). Selanjutnya tidak semua artinya
proses penyelesaian perkara kredit macet di Pengadilan berjalan
lama. Demikian juga halnya dalam dunia praktek, biaya tidak resmi sering
dijumpai di lingkungan pengadilan,
biaya tersebut dikenakan oleh pihak tertentu
selaku penjual jasa hukum. Sebagai
contoh, biaya pengambilan
berkas di Pengadilan, pengalaman menunjukkan bahwa berkas tersebut tidak akan dikerjakan atau diserahkan bila pemohon hanya membayar biaya resmi saja, jadi harus membayar
pula biaya tidak resmi. Dalam kasus
kredit macet yang banyak ditangani hambatan yuridis
yang banyak ditemui
dalam praktek, adalan rawan sekali muncul upaya hukum perlawanan pihak ketiga (derden
verzet) atau perlawanan dari pihak debtitur
yang tidak puas obyeknya
akan dieksekusi.
Selain hambatan yuridis yang banyak
timbul dalam proses penanganan fiat eksekusi,
hak tanggungan di Pengadilan Negeri,
maka dari hasil
pemantauan yang dilakukan
maka hambatan non yundis dapat
menyebabkan hambatan dalam proses penanganan fiat eksekusi.
Umumnya para penegak hukum di
Pengadilan masih kurang dedikasinya maupun pengabdiannnya pada masyarakat, dalam arti penegak
hukum tersebut punya orientasi pribadi
apabila ada orang
yang berpengara di pengadilan dapat memenuhi
semua keinginan si penegak
hukum maka segala urusannya di Pengadilan akan diperlancar, tapi kalau tidak dapat mengerti
kemauan penegak hukumnya maka urusannya di Pengadilan bisa menjadi berbelit-belit, hal ini
benar- benar nyata terjadi, jadi isu “mafia peradilan” masih berjalan. Di sisi lain masih ada penegak hukum advokad, apabila
prinsipal yang bersangkutan memberikan kuasa kepada seorang Advokat
untuk mengurusi perkaranya maka kepiawaian dan kemahiran advokat dalam beracara di pengadilan sangat menentukan kelancaran suatu perkara. Faktor
niat dan itikad Advokat yang memang ingin membantu atau bahkan tidak jarang pula Advokat yang sengaja mengulur-ulur waktu dengan berbagai macam trik yang bertujuan menghambat suatu perkara demi kepuasan kliennya.
Selain itu sering ruang pengadilan yang dapat digunakan beracara masih kurang, sehingga ketika akan mengadakan lelang terhadap
obyek jaminan kredit macet, maka tidak jarang para pihak
terkait masih harus menunggu
ruang sidang yang bisa digunakan, sekalipun ada ruang sidang yang kosong tetapi ukurannya kurang
memadai dan tidak bisa menampung
jumlah peserta lelang atau penonton
yang jumlahnya tidak bisa dibilang
sedikit. Pihak yang terkait dengan pelelangan harus antre dan rela mengalah dengan sidang-sidang yang lain, terutama sidang perkara pidana yang jumlahnya
sehari bisa belasan
perkara, ditambahlagi dengan kurang efektifnya pengaturan jadwal
sidang. Di Indonesia, ditemukan
bahwa tidak semua wilayah hukum memiliki kantor lelang, dalam arti masih banyak Pengadilan Negeri yang mempunyai
Kantor lelang di luar kota. Misalnya suatu daerah Kabupaten yang tidak mempunyai kantor lelang sendiri,
sehingga apabila akan mengadakan lelang harus memberitahu Kantor Lelang Negara didaerah
lain yang ada kantor lelangnya. Keengganan
orang untuk ikut serta dalam lelang
atau untuk menjadi pembela dalam pelaksanaan lelang dapat menghambat proses fiat eksekusi. Kadang kala peserta lelang mengalami kesulitan
untuk menempati obyek lelang karena harus mengajukan gugatan perdata namun ada pula
orang yang berpegangan pada mitos bahwa orang yang menempati
barang yang dibeli dari lelang kelak akan mengalami
nasib yang sama, yaitu usaha nya akan
rugi dan tanahnya akan dilelang juga, animo masyarakat untuk menjadi peserta
lelang tidak terlalu
tinggi. Akibatnya sering terjadi dimana dalam. suatu pelaksanaan lelang tidak ada peminatnya. Budaya
masyarakat di Indonesia
yang lebih suka praktisnya saja dan tidak suka repot, apalagi sistem
hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah adopsi dari sistern pemerintahan Hindia Belanda. Ketimpangan dalam peradilan lebih disebabkan karena masyarakat
belum memiliki hukum yang menjadi
budaya dalam kehidupan sehari- hari yang umumnya masyarakat tidak suka dengan birokrasi dan administrasi, kurang
memikirkan artinya pencegahan kredit macet, yang panting dapat bantuan kredit sudah senang,
kalau ada masalah
ditangani nanti saja. Selain itu kelemahan bank dalam menerapkan analisa kredit yang harus benar-benar
memenuhi 7P dan 5 C, selain prinsip-prinsip kehati-hatian bank. Salah satu unsure dari 7P dan 5c itu adalah jaminan atau adanya jaminan yang diikat alam perjanjian kredit.
Banyak terjadi penyelesaian kredit bermasalah dengan menempuh
jalur hukum menempuh waktu yang
lama, melewati jalan yang terjal, dan menghabiskan biaya yang cukup besar, bahkan terkadang memberikan hasil yang kurang menjanjikan. Kondisi
ini jelas tidak
menguntungkan bagi lembaga
perbankan. Dalam rangka menjalankan usaha bank untuk menyalurkan dana kepada masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas maka bank memandang pentingnya meminta jaminan pelunasan kredit tersebut, terutama
jaminan khusus yang bersifat kebendaan.
Tata cara eksekusi obyek Hak Tanggungan secara jalur hukum
antara lain melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri dan melakukan eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan sertifikat hak tanggungan, namun dapat juga dilakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara melakukan
penjualan dibawah tangan,
dengan catatan selama
pihak debitur bersikap kooperatif. Penyelesaian kasus kredit bermasalah sering kali justru membawa kerugian yang lebih besar bagi kreditur
(bank), padahal undang-undang menentukan bahwa proses peradilan dilakukan
dengan cara sederhana, cepat dan biaya ringan, namun kenyataannya kreditur
tidak mendapat jaminan
perlindungan hukum. Bahkan praktek penyelesaian kredit bermasalah di lapangan terutama
di lingkungan peradilan sering sekali dialami
hambatan- hambatan yang justru mengakibatkan kerugian bagi
kreditur. Hambatan non yuridis
dimaksud adalah upaya hukum perlawanan dapat ditempuh oleh
termohon eksekusi untuk menghambat proses fiat eksekusi, penegak hukum cenderung
mengejar motivasi pribadi
serta kurangnya kualitas hakim dan pegawai pengadilan dibidang hukum perbankan, kurangnya jumlah sarana lelang dan tidak adanya kantor lelang negara di daerah, budaya masyarakat kurang mengerti hukum terutama
mengenai hak dan kewajibannya daam perjanjian kredit. Selanjutnya upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hambatan dalam pelaksanaan flat eksekusi Hak Tanggungan yang berupa
hambatan yuridis dengan adanya perlawanan pihak ketiga yang sewaktu- waktu
dapat timbul dimuka persidangan dengan
memberi bukti-bukti dan saksi- saksi. Sedangkan upaya mengatasi hambatan non yuridis antara lain minta
petunjuk kepada tingkat
hukum yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi
atau Mabkamah Agung ataupun komisi
hukum berkenan dengan pengeluaran kebijakan
yang sesuai, melakukan
pendekatan kepada aparat penegak hukum di pengadilan tentang kepastian hukum yang seharusnya diterapkan dalam penanganan fiat eksekusi, memberikan pemahaman pada
masyarakat terutama tentang hak dan kewajiban dalam
suatu perjanjian kredit.