RUNTUHNYA OTORITAS PEMERINTAH

RUNTUHNYA OTORITAS PEMERINTAH

1.      Matinya Etika Sosial Politik

Korupsi bukan suatu bentuk tindak pidana biasa karena ia merusak sendi-sendi kehidupan yang paling dasar yaitu etika sosial bahkan kemanusiaan. Kejujuran sudah tidak ditegakkan lagi dan yang paradoksal adalah siapapun yang meneriakkan kejujuran justru akan diberikan sanksi sosial dan politik oleh otoritas menteri, aparat penguasa bahkan oleh masyarakat sendiri.

Kejujuran yang dihadapi dengan kekuatan politik adalah sesuatu yang tidak mendidik dan justru bertentangan dengan etika dan moralitas. Pada saat ini kekuatan politik sangat dominan, sehingga suatu kelompok politik akan rela melindungi anggotanya dengan segala cara, meskipun anggotanya tersebut jelas-jelas bersalah atau melakukan korupsi. Hal ini sangat melukai nurani masyarakat, padahal mereka adakah wakil rakyat yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat. Melindungi seorang koruptor dengan kekuatan politik adalah salah satu indikasi besar runtuhnya etika sosial dan politik.

Gejala ini semakin lama semakin menguat, masyarakat dengan jelas dapat menilai dari berbagai pemberitaan media masa siapa yang bersalah siapa yang benar, namun semua itu dikaburkan dengan politik yang sangat licik, dengan berbagai alasan seperti demi keamanan negara atau keselamatan petinggi negara. Ketika nilai-nilai kejujuran dan nurani dicampakkan, maka tak pelak lagi kebangkrutan etika akan berimbas kepada seluruh sendi kehidupan masyarakat secara umum.

Banyak pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik yang tertangkap karena korupsi namun tidak menunjukkan perasaan bersalah, malu ataupun jera di depan umum. Mereka bertindak seolah-olah selebritis dengan tetap melambaikan tangan atau tersenyum lebar seolah-olah tidak bersalah. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa mereka akan bebas dari tuduhan atau akan dengan mudah bebas dengan memberikan upeti kepada penegak hukum yang mengadilinya. Sungguh tidak mempunyai nurani!

 

2.      Tidak Efektifnya Peraturan dan Perundang-undangan

Secara umum peraturan dan perundang-undangan berfungsi untuk mengatur sesuatu yang substansial dan merupakan instrumen kebijakan (beleids instrument) yang berguna untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam masyarakat. Dengan adanya peraturan dan perundang-undangan diharapkan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat dipecahkan dengan baik, jelas dan berkeadilan, yang pada akhirnya akan memuaskan semua pihak.

Di lain sisi dalam masyarakat muncul berbagai kemungkinan apabila dihadapkan dalam suatu permasalahan. Secara alamiah seseorang selalu ingin dimenangkan dalam suatu perkara atau masalah atau diposisikan dalam keadaan benar. Oleh sebab itu banyak upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam memenangkan perkara dan masalahnya di depan hukum, dari upaya yang positif dengan mengumpulkan berbagai barang bukti dan saksi yang menguatkan sampai kepada hal-hal lain yang negatif dan berlawanan dengan hukum, seperti menyuap, memberikan iming-iming, gratifikasi bahkan sampai kepada ancaman nyawa.

Di sisi sebaliknya, aparat hukum yang semestinya menyelesaikan masalah dengan fair dan tanpa adanya unsur pemihakan, seringkali harus mengalahkan integritasnya dengan menerima suap, iming-iming, gratifikasi atau apapun untuk memberikan kemenangan. Kondisi ini sudah semakin merata melanda aparat hukum yang ada di negeri ini, sehingga memunculkan anekdot di masyarakat bahwa hukum itu hanya adil bagi yang memiliki uang untuk menyuap, sedangkan bagi masyarakat miskin keadilan hanyalah angan-angan saja. Peraturan dan perundang-undangan yang berlaku menjadi mandul karena setiap perkara selalu diselesaikan dengan korupsi.


3.      Birokrasi Tidak Efisien

Survei terbaru yang dilakukan oleh PERC menunjukkan, bahwa tiga negara Indonesia, India, dan Filipina adalah negara dengan performa birokrasi yang paling buruk di Asia. Sedang Singapura dan Hong Kong adalah yang paling efisien. PERC menilai buruknya kinerja birokrasi di ketiga negara ini tidak hanya perlakuan terhadap warga negaranya sendiri, tetapi juga asing. Tidak efisiennya birokrasi ini dianggap sebagai faktor yang masuk menghalangi investasi asing masuk ke negara tersebut.

Dalam peringkat PERC ini, Indonesia menempati posisi nomor dua terburuk di Asia setelah India. Dalam standar angka 1 terbaik sampai 10 terburuk, India teratas dengan skor 9,41, diikuti oleh Indonesia (8,59), Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan Cina (7,93). Malaysia di tempat keenam dari bawah dengan skor 6,97, diikuti oleh Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53). Singapura menduduki peringkat telah memiliki birokrasi yang paling efisien, dengan skor 2,53, diikuti oleh Hong Kong dengan 3,49 (Republika, 3 Juni 2010).


Last modified: Wednesday, 29 September 2021, 3:59 PM