PENCEGAHAN KORUPSI: BELAJAR DARI NEGARA LAIN

A.       PENCEGAHAN KORUPSI: BELAJAR DARI NEGARA LAIN

India adalah salah satu negara demokratis yang dapat dianggap cukup sukses memerangi korupsi. Meskipun korupsi masih cukup banyak ditemui, dari daftar peringkat negara- negara yang disurvey oleh Transparency Internasional (TI), India menempati ranking lebih baik daripada Indonesia. Pada tahun 2005, dari survey yang dilakukan oleh TI, 62% rakyat India percaya bahwa korupsi benar-benar ada dan bahkan terasa dan dialami sendiri oleh masyarakat yang di-survey. Di India, Polisi menduduki ranking pertama untuk lembaga yang terkorup diikuti oleh Pengadilan dan Lembaga Pertanahan. Dari survey TI, pada tahun 2007, India menempati peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China dan Brazil). Pada tahun yang sama, negara tetangga India seperti Srilangka menempati peringkat 94, Pakistan peringkat 138 dan Bangladesh peringkat 162. Pada tahun 2007 tersebut, Indonesia menempati nomor 143 bersama-sama dengan Gambia, Rusia dan Togo dari 180 negara yang di-surveyPeringkat yang cukup buruk jika dibandingkan dengan India yang sama-sama negara berkembang.

Oleh Krishna K. Tummala dinyatakan bahwa secara teoretis korupsi yang bersifat endemik banyak terjadi di negara yang masih berkembang atau Less Developed Countries (LDCs) (Tummala : 2009) yang disebabkan karena beberapa hal yakni :

It is theorized that corruption is endemic in for various reasons: unequal access to, and disproportionate distribution of wealth among the rich and the poor; public employment as the only, or primary, source of income; fast changing norms and the inability to correspond personal life patterns with public obligations and expectations; access to power points accorded by state controls on many aspects of private lives; poor, or absent, mechanisms to enforce anti-corruption laws; general degradation of morality, or amoral life styles; lack of community sense, and so on.

Dengan mendasarkan pada pernyataan tersebut, Tummala dalam konteks India, memaparkan beberapa hal yang menurutnya penting untuk dianalisis yang menyebabkan korupsi sulit untuk diberantas (Tummala: 2009) yaitu :


•                  Ada 2 (dua) alasan mengapa seseorang melakukan korupsi, alasan tersebut adalah kebutuhan (need) dan keserakahan (greed). Untuk menjawab alasan kebutuhan, maka salah satu cara adalah dengan menaikkan gaji atau pendapatan pegawai pemerintah. Namun cara demikian juga tidak terlalu efektif, karena menurutnya keserakahan sudah diterima sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat. Menurutnya greed is a part of prevailing cultural norms, and it becomes a habit when no stigma is attached. Mengutip dari the Santhanam Committee ia menyatakan bahwa : in the long run, the fight against corruption will succeed only to the extent to which a favourable social climate is created. Dengan demikian iklim sosial untuk memberantas korupsi harus terus dikembangkan dengan memberi stigma yang buruk pada korupsi atau perilaku koruptif.

•                  Materi hukum, peraturan perundang-undangan, regulasi atau kebijakan negara cenderung berpotensi koruptif, sering tidak dijalankan atau dijalankan dengan tebang pilih, dan dalam beberapa kasus hanya digunakan untuk tujuan balas dendam. Peraturan perundang-undangan hanya sekedar menjadi huruf mati yang tidak memiliki roh sama sekali.

•                  Minimnya role-models atau pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan kurangnya

political will dari pemerintah untuk memerangi korupsi.

•                  Kurangnya langkah-langkah konkret pemberantasan korupsi.

•                  Lambatnya mekanisme investigasi dan pemeriksaan pengadilan sehingga diperlukan lembaga netral yang independen untuk memberantas korupsi.

•                  Salah satu unsur yang krusial dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku sosial yang toleran terhadap korupsi. Sulit memang untuk memformulasi perilaku seperti kejujuran dalam peraturan perundang-undangan. Kesulitan ini bertambah karena sebanyak apapun berbagai perilaku diatur dalam undang-undang, tidak akan banyak menolong selama masyarakat masih bersikap lunak dan toleran terhadap korupsi.


Kiranya kita dapat belajar dari pemaparan tersebut, karena kondisi Indonesia dan India yang sama-sama negara berkembang. Sulitnya, India telah berhasil menaikkan peringkat negaranya sampai pada posisi yang cukup baik, sedangkan Indonesia, walaupun berangsur-angsur membaik, namun peringkatnya masih terus berada pada urut-urutan yang terbawah. Untuk selanjutnya Tummala menyatakan bahwa dengan melakukan pemberdayaan segenap komponen masyarakat, India terus optimis untuk memberantas korupsi.

In modern India, poverty, insufficiency and class conflicts are slowly giving way to a confident, inclusive, empowered India. On the Transparency International’s Corruption Index, India’s position has improved significantly, and hopefully will continue to do so. The vigilance of our enlightened people will ensure this (Tummala : 2009).

Selain India, salah satu lembaga pemberantasan korupsi yang cukup sukses memberantas korupsi adalah Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong. Tony Kwok, mantan komisaris ICAC (semacam KPK di Hongkong), menyatakan bahwa salah satu kunci sukses pemberantasan korupsi adalah adanya lembaga antikorupsi yang


 

 

Gambar II.6.1.

Cina dapat dikatakan sukses memberantas korupsi. Negara lain di Asia yang bisa dikatakan sukses memerangi korupsi adalah Singapura dan Hongkong. Kedua pemerintah negara ini selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang.

berdedikasi, independen, dan bebas dari politisasi. Sebagaimana awal kelahiran KPK, lembaga ICAC juga mendapat kecaman luas dari masyarakat di Hong Kong. Namun dengan dedikasi luar biasa dan dengan melakukan kemitraan bersama masyarakat akhirnya ICAC mampu melawan kejahatan korupsi secara signifikan. Faktor-faktor keberhasilan yang dicapai oleh ICAC dalam melaksanakan misinya adalah sebagai lembaga yang independen dia bertanggung jawab langsung pada kepala pemerintahan. Hal ini menyebabkan ICAC bebas dari segala campur tangan pihak manapun pada saat melakukan penyelidikan suatu kasus. Prinsipnya pada saat lembaga ini mencurigai adanya dugaan korupsi maka langsung melaksanakan tugasnya tanpa ragu atau takut (Nugroho : 2011).

ICAC memiliki kewenangan investigasi luas, meliputi investigasi di sektor pemerintahan dan swasta, memeriksa rekening bank, menyita dan menahan properti yang diduga hasil dari korupsi, memeriksa saksi, menahan dokumen perjalanan tersangka melakukan cegah tangkal agar tersangka tidak melarikan diri keluar negeri. ICAC merupakan lembaga pertama di dunia yang merekam menggunakan video terhadap investigasi semua tersangka korupsi. Strategi yang ditempuh ICAC Hongkong dalam memberantas korupsi dijalankan melalui tiga cabang kegiatan, yaitu penyelidikan, pencegahan, dan pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan masyarakat semakin paham peran mereka bahwa keikutsertaan mereka dalam memerangi korupsi merupakan kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi (Nugroho : 2011).

Sebenarnya ada banyak kesamaan antara KPK dan ICAC di Hongkong. Perbedaannya adalah pada sistem perekrutan pimpinan dan komisionernya. Dengan sistem perekrutan yang ada saat ini, KPK menurut Hibnu Nugroho tidak mampu membebaskan diri dari politisasi. Dengan perbedaan yang tipis ini, ditambah komitmen pemerintah yang tidak kompak dalam memandang pentingnya pemberantasan korupsi, ternyata output-nya sangat jauh berbeda. Permasalahan perekrutan komisioner KPK melalui fit and proper test di DPR membuka kemungkinan masuknya kepentingan dan politisasi. Penjaringan melalui uji kelayakan di DPR pada satu sisi diharapkan mampu menemukan sosok pejabat KPK yang tidak mudah grogi berhadapan dengan anggota DPR, namun di sisi lain munculnya lobi-lobi politik menjadi terbuka (Nugroho : 2011).

Salah satu negara yang juga cukup menarik untuk dipelajari adalah Cina. Walaupun diperintah dengan tangan besi oleh partai komunis, Cina dapat dikatakan sukses memberantas korupsi. Negara lain di Asia yang bisa dikatakan sukses memerangi korupsi adalah Singapura dan Hongkong. Kedua pemerintah negara ini selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang.

Di Indonesia, dari pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama kurun waktu 5 tahun, KPK telah 100% berhasil menghukum atau memberikan


pidana pada pelaku tindak pidana korupsi. Bila dibandingkan dalam kurun waktu 20 tahun, Filipina dengan lembaga Ombudsman hanya berhasil menghukum segelintir pejabat saja (Bhattarai: 2011).


 


Last modified: Monday, 22 November 2021, 8:51 AM