UU Khusus

3.    Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat, temporer, dan berlandaskan Undang- undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke dalam Undang-undang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi tindak pidana. Namun demikian undang- undang ini ternyata dianggap terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya lebih sulit.

4.   Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sejarah tidak mencatat banyak perkara tindak pidana korupsi pada periode 1960-1970. Tidak diketahui apakah karena undang-undang tahun 1960 tersebut efektif ataukah karena pada periode lain sesudahnya memang lebih besar kuantitas maupun kualitasnya.

Dalam periode 1970-an, Presiden membentuk apa yang dikenal sebagai Komisi 4 dengan maksud agar segala usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.

Adapun tugas Komisi 4 adalah:

a. Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan korupsi.

b. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi.

Dalam penyusunannya, Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ini relatif lancar tidak mengalami masalah kecuali atas beberapa hal seperti adanya pemikiran untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik dan keinginan untuk memasukkan ketentuan berlaku surut.


5.      TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Seiring dengan gerakan reformasi yang timbul dari ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan Orde baru selama hampir 32 tahun, keinginan untuk menyusun tatanan kehidupan baru menuju masyarakat madani berkembang di Indonesia. Keinginan untuk menyusun tatanan baru yang lebih mengedepankan civil society itu dimulai dengan disusunnya seperangkat peraturan perundang-undangan yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan rakyat sebagaimana tuntutan reformasi yang telah melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan.

Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat banyak amanat untuk membentuk perundang-undangan yang akan mengawal pembangunan orde reformasi, termasuk amanat untuk menyelesaikan masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya.

6.      Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 mempunyai judul yang sama dengan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lahirnya undang-undang ini memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru atau kriminalisasi atas pengertian Kolusi dan Nepotisme.

Dalam undang-undang ini diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana, yaitu adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara, atau antara penyelenggara negara dan pihak lain, yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Sedangkan tindak pidana nepotisme didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dalam perjalanannya, undang-undang ini tidak banyak digunakan. Beberapa alasan tidak populernya undang-undang ini adalah terlalu luasnya ketentuan tindak pidana yang diatur di dalamnya serta adanya kebutuhan untuk menggunakan ketentuan undang-undang yang lebih spesifik dan tegas, yaitu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan korupsi.

7.        Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999 dilatar belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa sesuai dengan bergulirnya orde reformasi dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas upaya pemberantasan korupsi, dan kedua undang- undang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama dan tidak efektif lagi.

Apa yang diatur sebagai tindak pidana korupsi di dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebetulnya tidak sungguh-sungguh suatu yang baru karena pembuat undang- undang masih banyak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang sebelumnya. Namun demikian, semangat dan jiwa reformasi yang dianggap sebagai roh pembentukan undang-undang baru ini diyakini akan melahirkan suatu gebrakan baru terutama dengan diamanatkannya pembentukan suatu komisi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu instrumen baru pemberantasan korupsi.

Harapan masyarakat bahwa undang-undang baru ini akan lebih tegas dan efektif sangat besar, namun pembuat undang-undang membuat beberapa kesalahan mendasar yang mengakibatkan perlunya dilakukan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 ini. Adapun beberapa kelemahan undang-undang ini antara lain:

a. Ditariknya pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai tindak pidana korupsi dengan cara menarik nomor pasal. Penarikan ini menimbulkan resiko bahwa apabila KUHP diubah akan mengakibatkan tidak sinkronnya ketentuan KUHP baru dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang berasal dari KUHP tersebut.

b. Adanya pengaturan mengenai alasan penjatuhan pidana mati berdasarkan suatu keadaan tertentu yang dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum.

c. Tidak terdapatnya aturan peralihan yang secara tegas menjadi jembatan antara undang- undang lama dengan undang-undang baru, hal mana menyebabkan kekosongan hukum untuk suatu periode atau keadaan tertentu.


Terakhir diperbaharui: Friday, 26 November 2021, 17:41