13.1 Follow The Money

Pendekatan follow the money sudah lama dipakai di Amerika Serikat dan dikenal juga dengan pendekatan anti pencucian uang. Pendekatan anti pencucian uang ini diperkenalkan secara formal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1988 dalam Konvensi Wina, Convention Against Illicit Traffic in Narcotics and Psychotropic Substance. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional pertama yang mengambil gagasan untuk menyusun perangkat hukum internasional memerangi money laundering

Follow the money secara harfiah berarti mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan dalam suatu arus uang atau arus dana. Jejak-jejak ini akan membawa penyidik dan akuntan forensik ke arah pelaku fraud.

Follow the money dilandasi gagasan yang sederhana namun teknik audit investigasi ini sangat ampuh. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur seputar follow the money mengingatkan kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang dan manusia, pencurian, prostitusi, terorisme, dan lain-lain yang merupakan tindak pidana, tetapi juga pencucian uangnya sendiri adalah tindak pidana.

Uang sangat likuid dan mudah mengalir. Hal tersebut menyebabkan follow the money mempunyai banyak peluang untuk digunakan dalam investigasi. Namun mata uang kejahatan atau currency crime bukanlah uang semata. Mengetahui currency crime akan membuka peluang baru untuk menerapkan teknik follow the money.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat


menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana.

Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan melaporkan transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik.

Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan pihak pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.

Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan terakhir diubah


dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, lembaga pengawas dan pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

Djoko Sarwoko mengemukakan bahwa pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti (obyek kejahatan). Tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan, berbeda halnya dengan pendekatan konvensional yang menitikberatkan pada pencarian pelakunya secara langsung setelah ditemukan bukti-bukti permulaan.

Dalam setiap tindak pidana setidaknya ada tiga komponen, yaitu pelaku tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh, kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Dalam mencari hasil tindak pidana, dipergunakan financial analysis. Namun demikian financial analysis belum dapat memastikan terjadinya tindak pidana dan tidak memberikan alat bukti terjadinya tindak pidana tersebut. Dua hal ini merupakan tugas penyidik yang menerima hasil financial analysis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penerapan pendekatan follow the money dilakukan oleh para penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk penanganan perkara tindak pidana pencucian uang yang dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan atau pun dari laporan masyarakat dengan cara menganalisa laporan hasil analisis dari PPATK. Ketika adanya dugaan pencucian uang yang dilaporkan maka para penegak hukum menggunakan prinsip follow the money yang mengacu kepada aliran dana untuk mengetahui apa saja bentuk aset hasil dari tindak pidana, dimana disimpan dan atas nama siapa, mengetahui orang atau lembaga yang membantu pelaku tindak pidana pencucian uang. Terdakwa juga diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana dan justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta yang didapatnya bukan hasil tindak pidana. Upaya untuk memotong mata rantai kejahatan ini, selain relatif mudah dilakukan dengan


pendekatan follow the money, juga akan menghilangkan motivasi para pelakunya untuk mengulangi kembali kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya menjadi terhalang atau sulit dilakukan. Pendekatan follow the money sangat efektif jika negara ingin menyelamatkan aset negara begitu ada aliran dana mencurigakan, aparat penegak hukum bisa melakukan sejumlah langkah antisipasi dengan melakukan pemblokir rekening hingga penyitaan aset.

Last modified: Tuesday, 21 December 2021, 8:49 AM