15.2 Pemulihan Kerugian Negara

 Pemulihan Kerugian negara

Tuanakotta dalam bukunya Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (2007) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemulihan kerugian adalah merupakan proses untuk mengubah aset yang sudah ditemukan lewat penelusuran aset, menjadi aset untuk diserahkan kepada pihak yang dimenangkan dalam penyelesaian sengketa. Proses ini bisa terjadi di dalam maupun di luar negeri, antara lain meliputi penyelidikan atas bukti-bukti mengenai kepemilikan harta, pembekuan atau pemblokiran rekening di perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pemblokiran. Dengan demikian dapat disimpulkan apabila terjadi tindak pidana pencucian uang ataupun tindak pidana korupsi dalam hal ini yang dirugikan negara, maka pemulihan kerugian akan diserahkan kepada negara.

Banyak pihak yang sependapat bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)  lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam hal pengembalian aset (asset recovery), jika dibandingkan dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Alasannya karena UU PPTPPU menggunakan paradigma baru dalam penanganan tindak pidana, yaitu dengan pendekatan follow the money (menelusuri aliran uang) untuk mendeteksi TPPU dan tindak pidana lainnya. Dasar hukum pemulihan kerugian negara dari hasil penelusuran aset antara lain terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)  dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001).

Dalam UU PPTPPU masalah pemulihan kerugian negara antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 4 sebagai berikut:

Pasal 3

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran aset. Selanjutnya aset hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil tindak pidana tadi milik negara, maka harta tersebut akan dikembalikan  kepada negara.  Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh  lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan melaporkan transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Berdasarkan data tersebut penyidik akan menindaklanjuti data tersebut secara hukum sampai dengan aset tersebut jelas nilainya dan keberadaannya yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penggantian kerugian kepada yang berhak.

Sedangkan dasar hukum   penggantian kerugian negara dalam  Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001) yang diuraikan dalam Pasal 17 dan Pasal 18   sebagai berikut:

Pasal 17

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.  

Pasal 18 ayat (1) huruf b

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Maksud  diterapkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk mengembalikan kerugian uang negara yang dikorupsi oleh pelakunya, sehingga dengan demikian keuangan negara diharapkan dapat dipulihkan, diselamatkan atau dikembalikan nilainya seperti dalam keadaan semula.

 Pasal 18 ayat (2)

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Pasal 18 ayat (3)

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

 


Terakhir diperbaharui: Sunday, 16 January 2022, 23:33