2.3. KEDUDUKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Sebelum lahirnya Undang - Undang Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 1999, Indonesia sudah mempunyai aturan yang mengatur tentang pemberlakuan persaingan sehat diantara pelaku usaha namun terpencar di beberapa peraturan yakni :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
          Kerap dikemukakan bahwa kerugian yang diderita oleh pelaku usaha dari persaingan yang tidak sehat, sepanjang kerugian tersebut bersifat perdata dari persaingannya maka digunakan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.  Pelaku usaha yang menderita kerugian sebagai akibat
dari persaingan usaha yang tidak jujur dan tidak sehat yang dilakukan pesaing usahanya, dapat menuntut pelaku usaha yang bersangkutan berdasarkan ketetuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sepanjang dapat dibuktikan, bahwa adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan pesaing usahanya dengan kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari perbuatan pesaing usahanya, sehingga mewajibkan pesaingusahanya untuk bertanggung gugat.

         Karena dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dinyatakan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUHPerdata ini mengandung makna bahwa seseorang hanya akan bertanggung gugat atas kerugian yang diderita orang lain,
apabila:

a. Perbuatan yang menimbulkan kerugian merupakan perbuatan yang melanggar atau melawan hukum;

b. Kerugian timbul sebagai akibat dari adanya perbuatan tersebut (menimbulkan hubungan kausak);

c. Pelaku tersebut bersalah atau melakukan kesalahan (adanya kesalahan) dalam perbuatan tersebut;

Pada praktik, pasal ini kurang efektif sebab harus melalui prosesligitasi yang memakan waktu lama. Di samping itu, selain penggugat yang merasa dirugikan harus membuktikan kerugian yang dideritanya akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut, penggugat juga  harus membuktikan bahwa perbuatan yang didalilkan tersebut memang dilarang atau bertentangan dengan peraturan yang berlaku atau bertentangandengan kebiasaan atau praktik yang telah diterima di kalangan dunia usaha.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
          Pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dijumpai sebuah pasal yang melarang berbagai pihak untuk melakukan perdagangan curang, perbuatan curang dalam perdagangan atau persaingan curang. Pasal dimaksud adalah Pasal 382 bis yang bunyinya sebagai berikut:

“Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatannya itu dapat menimbulkan
kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah”.

         Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini mengandung adanya perbuatan penipuan di bidang usaha bisnis tertentu yang bertujuan semata-mata untuk mementingkan dan mengguntungkan usaha sekelompok orang maupun seseorang dengan cara merugikan kepentingan pelaku usaha lainnya. Perlu diingat pula, bahwa tidak selamanya suatu kegiatan yang dianggap sebagai perbuatan curan
g mengandung unsur penipuan, tetapi suatu perbuatan yang bertujuan untuk mengurangi bahkan meniadakan sama sekali adanya persaingan sehat yang dilakukan antar sesama pelaku usaha, guna mendapatkan keuntungan akibat tidak adanya persaingan itu sendiri.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Secara tersurat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal dengan UUPA telah melarang dan mencegah monopoli di bidang pertahanan. Ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) UUPA menetapkan, bahwa pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisai-organisasi dan perseroan yang bersiat monopoli swasta. Artinya, pihak swasta dilarang mutlak monopoli usaha dalam lapangan agrarian. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha- usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta, bukan saja usaha swasta, melainkan juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Untuk negara dimungkinkan memonopoli usaha-usaha dalam lapangan agrarian sepanjang tidak merugikan masyarakat dan diselenggarakan dengan undang-undang. Kemungkinan ini ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (3) UUPA yang menyatakan, bahwa usaha-usaha pemerintah dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang diganti dengan Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2014
        Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian terdapat ketentuan yang bermaksud mencegah perbuatan monopoli dan persaingan tidak sehat antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, sehingga tidak merugikan masyarakat. Ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, bahwa :
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industry, untuk:

1. Mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;

2. Mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;

3. Mencegah pemusatan atau penguasaan industry oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat
."

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang persaingan curang dalam perdagangan ini secara sangat simple, yaitu ketika mengatur mengenai perusahaan yang merger, akuisisi, dan konsolidasi. Seperti telah diketahui bersama bahwa tindakan - tindakan berupa merger, akuisisi, dan konsolidasi sangat rentan terhadap munculnya tindakan monopoli atau penumpukan kekuasaan yang besar dalam satu atau beberapa tangan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 mengaturnya. Ditegaskan dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, bahwa :
Perbuatan hukum penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan:

1. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawanan perseroan; dan

2. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Terakhir diperbaharui: Thursday, 16 March 2023, 16:39