7.1 Pendahuluan

Pendahuluan

 Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan,, akuntansi berfungsi untuk memberikan informasi untuk pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Selama ini, laporan keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor sebagai pemakai utama laporan keuangan. Hal ini tertuang mulai dari Standar Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1 dan berbagai literatur lainnya. Kalau diperhatikan, pemakai informasi tidak hanya pihak-pihak tersebut. Banyak pihak lain yang juga memerlukan informasi keuangan, yang selayaknya mendapatkan perhatian yang sama (Gray, 2008). Selama ini perusahaan hanya menyampaikan informasi mengenai hasil operasi keuangan perusahaan kepada pemakai, tetapi mengabaikan eksternalitas dari operasi yang dilakukannya, misalnya polusi udara, pencemaran air, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya.(Aryani, 2018).

Akuntansi sosial secara umum bertujuan untuk mengukur dan mengungkapkan untung rugi dan biaya sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan perusahaan tersebut di masyarakat. Biaya sosial ini umumnya dikaitan dengan ketenagakerjaan, konsumen dan produk

atau barang/jasa yang   dihasilkan,   kemasyarakatan, dan lingkungan hidup di sekitar perusahaan. Pengungkapan biaya sosial ini dilakukan dalam laporan keuangan atau laporan tahunan. Prinsip dasar good corporate governance mengharuskan perusahaan untuk memberikan laporan bukan hanya kepada pemegang saham, calon investor, kreditur, dan pemerintah semata tetapi juga kepada stakeholders lainnya termasuk karyawan dan masyarakat. Pengungkapan corporate Social Responsibility/tanggung jawab sosial perusahan dalam laporan tahunan dapat dikelompokkan berdasatkan tema yang diungkap, tipe pengungkapan, tingkat pengungkapan, maupun lokasi dimana tanggung jawab sosial tersebut diungkapkan (Tenriwaru dan Nasaruddin, 2018).

Artikel ini membahas mengenai perlunya standar akuntansi untuk pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, bentuk laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, dan penerapannya di Indonesia. Laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan tidak hanya bermanfaat bagi stakeholders, tetapi juga bagi perusahaan. Karena semakin pentingnya laporan ini selayaknya mendapatkan perhatian dari regulator. Selama ini belum banyak pengaturan yang dilakukan oleh regulator. Pengaturan yang dilakukan hanya bersifat persuasif.

 

Pembahasan

 Tanggung jawab perusahaan merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas sebelum pembahasan mengenai laporan pertanggungjawaban. Akan tetapi, sebelum membahas tanggung jawab perusahaan perlu kiranya membahas perusahaan bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah revolusi industri perkembangan perusahaan semakin cepat. Hal ini ditunjukan dengan adanya pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitasnya. Penggunaan sumber daya masusia dan alam juga semakin besar. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, perusahaan

mengambil berbagai tindakan, antara lain menggunakan teknologi modern dalam berproduksi, melakukan akuisisi, penggunaan sumber daya yang lebih murah, pengurangan biaya, dan usaha lainnya untuk meningkatkan produktivitas. Semuanya dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih banyak kepada pemegang saham (Lako, 2008).

Tindakan perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, di satu sisi akan meningkatkan produktivitas perusahaan, tetapi di sisi lain  mungkin akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen, dan masyarakat. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sering kali mengakibatkan perusakan lingkungan, berupa pencemaran air, penggundulan hutan, pencemaran udara, dan lainnya. Perusahaan menganggap semua yang dilakukannya sebagai eksternalitas dari usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan korporasi (CSR) secara umum dapat didefinisikan sebagai komitmen berkelanjutan dari suatu perusahaan untuk bertanggung jawab secara ekonomik, legal, etis dan sukarela terhadap dampak-dampak dari tindakan ekonominya terhadap komunitas masyarakat dan lingkungan serta proaktif melakukan upaya-upaya berkelanjutan untuk mencegah potensi-potensi dampak negatif atau risiko aktivitas ekonomi korporasi terhadap masyarakat dan lingkungan serta meningkatkan kualitas sosial dan lingkungan yang menjadi stakeholder-nya. Definisi tersebut berimplikasi bahwa CSR suatu perusahaan tidak hanya terbatas pada tanggung jawab yang bersifat reaktif yaitu bertanggung jawab karena perusahaan telah menimbulkan dampak- dampak negatif (berdosa) bagi masyarakat dan lingkungan. Tapi, juga bertangunggjawab secara proaktif (dan interaktif) yaitu merumuskan program-program dan upaya-upaya berkesinambungan untuk mencegah potensi dampak negatif atau risiko aktivitas ekonomi korporasi terhadap masyarakat dan lingkungan serta meningkatkan kualitas sosial dan lingkungan yang menjadi stakeholder- nya (Lako, 2011).

Tanggung jawab tersebut juga mencakup menyajikan atau mengungkapkan informasi dan kinerja CSR secara jujur, transparan, kredibel dan akuntabel kepada para stakeholder untuk pengambilan keputusan. Intinya, tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility) tidak hanya terbatas pada tanggung jawab ekonomi (economic responsibilities) yaitu bagaimana memaksimal laba untuk meningkatkan nilai ekuitas bagi pemegang saham atau pemilik perusahaan. Tapi, juga harus bertanggung jawab secara sosial (social responsibilities) dan secara lingkungan (environment responsibilities) secara integral. Alasannya, masyarakat dan lingkungan merupakan pilar utama penopang kinerja dan keberlanjutan bisnis suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama ini  pemikiran ini secara tak disadari diabaikan pelaku bisnis. Dengan kata lain, perusahaan perlu menyeimbangkan tanggung jawab ekonomi dengan tanggungjawab sosial dan lingkungan sehingga bisa menghasilkan laba yang berkualitas atau laba yang ramah secara sosial dan lingkungan (green profit) atau laba yang berkelanjutan (sustainable profits) (Prasetya, 2015).

Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak perusahaan di Indonesia sudah mulai peduli terhadap corporate social responsibility (CSR), ada beberapa motif yang menyebabkannya. Pertama, para pebisnis menghadapi tekanan stakeholder eksternal yang kian menguat agar korporasi Indonesia menginternalisasikan CSR dalam tindakan bisnis dan mengungkapkan kinerjanya dalam pelaporan perusahaan (Lako, 2008). Tekanan tersebut berasal dari:

1.      Tuntutan pelaku pasar internasional (market forces), terutama investor, kreditor, pemasok dan konsumen, agar perusahaan menghasilkan produk-produk atau jasa yang ramah sosial dan lingkungan.

2.      Tekanan dari lembaga-lembaga keuangan nasional dan             internasional            yang mensyaratkan dimasukkannya isu-isu sosial dan lingkungan dalam perjanjian kontrak hutang/pinjaman; dan

3.      Tekanan legislatif (DPR) dan pemerintah yang kian responsif terhadap isu-isu sosial dan lingkungan sehingga memunculkan produk-produk hukum (aturan) yang memaksa perusahaan peduli pada isu- isu CSR.

Kedua, perusahaan mulai menyadari bahwa dibalik pengorbanan sumberdaya ekonomik perusahaan untuk melaksanaan program-program CSR yang bisa menguras laba dan mengurangi jumlah dividen yang semestinya diterima pemilik atau pemegang saham, perusahaan bisa meraup manfaat berlipatganda (multiplier benefits) apabila peduli dan melaksanakan CSR secara berkelanjutan. Manfaat berlipat ganda tersebut, misalnya meningkatnya reputasi dan nama baik perusahaan, meningkatnya loyalitas karyawan, investor, kreditor dan pelanggan, menurunnya resistensi masyarakat dan lainnya. Sejumlah manfaat tersebut pada akhirnya akan mendatangkan sejumlah manfaat ekonomi (economic benefits) bagi perusahaan. Misalnya, meluasnya pangsa pasar dan meningkatnya volume penjualan, laba dan nilai ekuitas yang meningkat, apresiasi pasar terhadap harga saham/obligasi perusahaan, kesinmabungan bisnis dan masih banyak lagi.




Terakhir diperbaharui: Tuesday, 7 November 2023, 15:51