7.5 Akuntansi Untuk CSR
Makin meningkatnya kepedulian perusahaan pada CSR dan adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, pertanyaan penting yang patut diajukan adalah bagaimanakah perlakuan akuntansi terhadap pengorbanan sumber-sumber ekonomik untuk CSR? Pertanyaan tersebut penting karena hingga saat ini pemerintah atau Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonsia (DSAK-IAI) belum menerbitkan ketentuan akuntansi atau standar akuntansi yang berterima umum untuk mengatur perlakukan akuntansi
(pengakuan, pengukuran, pencatatan, pelaporan dan pengungkapan informasi) terhadap pengorbanan sumber- sumberdaya ekonomik dan manfaat CSR dalam pelaporan keuangan (financial reporting) atau dalam pelaporan perusahaan (corporate reporting).
Karena belum ada aturan atau standar, kebanyakan perusahaan lalu memperlakukan pengorbanan sumber- sumber ekonomik untuk CSR sebagai beban periodik dan dilaporkan dalam pelaporan tahunan (annual report) atau melalui media pelaporan tersendiri (green reporting, sustainability reporting, social reporting, triple bottom line reporting atau lainnya).3 Sebelum membahas perlakuan akuntansi terhadap CSR, marilah terlebih dahulu kita identifikasi pengorbanan sumber-sumber ekonomi perusahaan untuk CSR. Secara umum, pengeluaran atau biaya (costs) untuk CSR dapat dibedakan dalam empat kelompok. Pertama, biaya-biaya yang terkait secara langsung dengan penciptaan manfaat ekonomi atau manfaat lainnya yang dapat diterima perusahaan pada periode yang akan datang (future benefits). Kedua, biaya- biaya yang terkait secara langsung dengan penciptaan manfaat ekonomi atau manfaat lainnya yang dapat diterima perusahaan pada periode sekarang (current period benefits). Ketiga, biaya-biaya yang berhubungan secara tak langsung dengan manfaat periode sekarang. Misalnya, biaya administrasi dan umum untuk CSR, biaya audit sosial dan lingkungan, biaya pelatihan dan pengembangan karyawan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktik CSR. Keempat, biaya-biaya yang dipandang sebagai costs atau losses periodic ((Lyon dan Maxwell : 2008).
Menurut Lako (2008), perlakuan akuntansi untuk biaya CSR adalah; untuk pengorbanan sumber-sumber ekonomi untuk biaya CSR yang memiliki manfaat ekonomik pada periode-periode selanjutnya, perlakuan akuntansinya adalah sebagai pengeluaran investasi dan diamortisasi ke periode-periode selanjutnya. Misalnya, investasi pada teknologi yang ramah lingkungan, investasi pada proyek-proyek kemitraan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan masyarakat sekitar, biaya
riset dan pengembangan CSR dan lainnya. Pengorbanan itu harus dilaporkan dalam neraca sebagai investasi CSR dalam kelompok Aset Tidak Berwujud (intangible asset). Untuk pengorbanan sumber-sumber ekonomi untuk CSR yang tidak memiliki manfaat ekonomik untuk periode- periode berikutnya, perlakuan akuntansinya adalah sebagai pengeluaran beban (expense) periodik dan langsung dilaporkan dalam laporan laba-rugi pada kelompok biaya non operasional. Rincian atas sejumlah informasi tersebut dapat diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Untuk aktivitas CSR yang sulit diukur secara moneter, perusahaan bisa mengungkapkan informasinya secara kualitatif dalam catatan atas laporan keuangan. Berkenaan dengan pelaporan dan pengungkapan informasi CSR, perusahaan bisa menggunakan beberapa media pelaporan berikut:
1. Melalui media pelaporan keuangan wajib perusahaan (financial reporting). Meski belum ada standar akuntansi yang mengaturnya namun perusahaan bisa menyajikan informasi CSR dalam laporan keuangan dengan menggunakan penalaran logis dari prinsip- prinsip akuntansi berterima umum (PABU).
2. Perusahaan bisa menggunakan media laporan tahunan (annual report) direksi kepada pemegang saham. Mayoritas perusahaan publik (go public) di Indonesia memanfaatkan media ini untuk mengungkapkan semua informasi CSR mereka agar diketahui para pemegang saham dan publik.
3.
Apabila dirasakan
belum memadai untuk
mengungkapkan informasi CSR melalui media pelaporan keuangan
dan laporan tahunan
direksi, perusahaan dapat membuat media pelaporan tersendiri yang disebut social and environment reporting. Sejumlah perusahaan secara
sukarela dan rutin menyusun
dan menyajikan informasi
tentang program-program, pengorbanan sumber-sumber ekonomik, aktivitas
dan kinerja CSR dalam media pelaporan tersendiri untuk disajikan kepada para stakeholder. Ada yang menyebut
sebagai reporting, sustainability reporting, triple bottom line reporting, social performace reporting
dan lainnya. Karena memiliki tiga dimensi tujuan yang terintegrasi maka akuntansi CSR disebut juga tripple-bottom line accounting. Intinya,
pelaporan keuangan oleh suatu perusahaan harus mencakup informasi
ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuannya, agar perusahaan bisa berkembang secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan investor dan stakeholders akan kian mengapresiasi perusahaan karena mereka mendapatkan informasi yang lebih komprehensif tentang
kinerja, risiko, intangible values dan prospek perusahaan. Ada dua dimensi utama dalam akuntansi CSR. Pertama, melaporkan dan mengungkap costs dan
benefits dari aktivitas
ekonomi perusahaan yang secara langsung
berdampak pada profitabilitas bottom-line (laba). Costs dan
benefits tersebut bisa dihitung
dan dikuantifisir secara akuntansi. Kedua, melaporkan costs
dan benefits dari aktivitas
ekonomi perusahaan yang berdampak langsung
pada individu, masyarakat dan lingkungan. Benefits itu
sulit dikuantifisir sehingga
pelaporannya mesti dilakukan
secara kualitatif. Dalam penerapannya, akuntansi pertanggungjawaban sosial mengalami berbagai kendala, terutama dalam masalah
pengukuran elemen-elemen sosial dan
dalam rangka penyajiannya di laporan
keuangan. Masalah ini timbul karena tidak semua elemen sosial dapat diukur dengan satuan uang serta belum terdapatnya standar
akuntansi yang baku mengenai pengukuran dan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Akuntansi
yang merupakan bagian dari dunia usaha ikut memberikan kontribusi dalam merespon kepedulian sosial perusahaan, melalui
perkembangan akuntansi sosial termasuk di dalamnya pengungkapan aktivitas sosial dalam laporan keuangan
perusahaan (Lako, 2008).