Ayat-Ayat Al-qur’an yang menentang tentang riba

Di dalam Al-qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara ekplisit. Pada priode Mekkah (sebelum hijrah), Allah berfirman dalam surat ar-Ruum (30) ayat 39

وَمَآ أَتَيْتُمُ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَا فِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوْاعِنْدَ اللّهِ وَمَآ أَتَيْتُمْ مِّنْ زَكَوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللَّهِ فَاُولَآئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ

Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa bagi Allah orang tersebut sebenarnya tidak melipat-gandakan hartanya dengan jalan riba melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-mata. Oleh karenanya ayat ini belum konkrit melarang riba tetapi sudah mengingatkan bahwa Allah membenci riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning, artinya menciptakan kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati larangan riba yang segera akan dikeluarkan.

Kemudian pada periode Madinah, turunlah surat ali-Imran (3) ayat 130 :

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَى أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Ayat ini jelas melarang riba dan larangan riba ini dikukuhkan pula dengan turunnya surat al-Baqarah (2) ayat 278-279 :

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَى إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنََ فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تُظْلِمُوْنَ وَلاَتُظْلَمُوْنََ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan).”


Ayat di atas dapat dijadikan dalil oleh ulama yang mengharamkan riba secara mutlak, artinya sedikit atau banyak sama saja hukumnya tetap haram.

Selanjutnya di dalam hadits-hadits Rasul saw telah ditegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar, yakni : syirik, sihir, membunuh orang tanpa alasan yang sah, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri waktu pertempuran, dan menuduh zina wanita-wanita yang baik. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Selain itu ada pula hadits Rasul saw yang mengutuk semua orang yang terlibat dalam perbuatan riba yaitu Hadits riwayat Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah :

Artinya : “Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang yang menjadi saksinya, dan orang yang mencatatnya.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa riba ada dua macam yaitu :

  1. Riba yang jelas, yang diharamkan karena keadaannya sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadikarena adanya penundaan pembayaran utang). Riba nasiah ini hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat (terpaksa).

  2. Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba fadhl (riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenisnya). Riba fadhl ini diharamkan karena bersifat preventif.

Sebagian ulama ada yang membedakan antara riba nasiah dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan istri atau mahramnya dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari perbuatan zina. Riba fadhl ini diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat atau hajah (emergency atau necessity), sesuai dengan Kaedah Hukum Fiqh Islam (Ijma’ Ulama) :

Artinya : “Hajah (keperluan mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.”

Menurut Sayid sabiq, riba fadhl ialah : jual beli emas/perak, atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada tambahan. Kalau riba nasiahdiharamkan berdasarkan Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama.

Diantara hadits Rasul saw yang menerangkan riba fadhl ialah :

Artinya : “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengan beras gandum, padi gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Bila jenis-jenis itu berbeda-beda, maka juallah sekehendakmu selagi dengan tunai. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit).


Pada hadits lain riwayat Ahmad, Muslim, dan an-Nasa’i dari Abu Sa’id al-Khudri:

Artinya : “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengan beras gandum, padi gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama dan tunai. Maka barangsiapa menambah atau minta tambahan, maka sesungguhnya ia memungut riba, dan orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.”

Kedua hadits tersebut di atas mengingatkan kepada ummat Islam bahwa :

  1. Jual beli barter pada enam macam barang tersebut di dalam hadits yang sama jenisnya dan sama pula illatnya, yakni emas, perak, beras gandum, padi gandum, kurma dan garam, dilarang oleh Islam kecuali telah memenuhi dua syarat :

a. Sama banyaknya dan mutunya (kuantitasnya dan kualitasnya).

b. Secara tunai (cash and carry).

Adapun dua syarat tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya unsur riba dalam jual beli barter tersebut sehingga ada pihak yang dirugikan.

  1. Jual beli barter antara enam macam barang tersebut di atas yang berbeda jenisnya tetapi sama illat hukumnya adalah sah jual belinya dan boleh ada kelebihan tetapi harus tunai. Misalnya 1 gram emas ditukar dengan 7 gram perak atau 1 kg kurma ditukar dengan 40 kg garam, boleh tetapi harus tunai.

  2. Jual beli barter antara enam macam barang tersebut di atas yang berbeda-beda jenisnya dan illat hukumnya adalah sah jual belinya tanpa syarat harus sama dan tunai. Misalnya 1 gram emas ditukar dengan 10 kg kurma diperbolehkan tanpa harus tunai.

Riba fadhl ini tidak hanya terbatas pada enam macam barang yang tersebut dalam hadits di atas tetapi mencakup semua mata uang dan semua bahan makanan yang mempunyai persamaan illatnya (penyebab keharaman barter) dengan emas, perak, dan keempat jenis bahan makananyang tersebut di atas. Dalam hal ini persamaan illatnya ialah semata-mata menjadi bahan-bahan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, sebagai mata uang bagi emas dan perak, dan sebagai bahan makanan pokok manusia bagi empat macam bahan makanan tersebut di atas.

Dengan demikian jelaslah bahwa jual beli barter pada barang-barang selain logam mulia atau mata uang emas/perak, dan bahan makanan pokok, diperbolehkan oleh Islam tanpa syarat harus sama atau tunai. Misalnya tukar seekor kambing dengan dua ekor kambing, atau sebuah TV ditukar dengan dua buah TV boleh, sebab bukan riba fadhl.


Last modified: Wednesday, 24 June 2020, 3:31 PM