Keputusan Etis Suatu Keharusan
Baik individu maupun kelompok atau lembaga, dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang perlu dilakukan, yang sewaktu-waktu sukar ditentukan. Contoh: teman sekerja yang sangat membutuhkan uang karena isteri dan mertuanya sakit keras, melakukan pencurian. Apakah yang Anda lakukan?
Contoh lain: dalam memberikan suara dalam pemilihan umum, siapa yang tepat dipilih? Telah kita jelaskan bahwa pilihan etis merupakan suatu keharusan. Anehnya ialah bahwa tidak mengambil keputusan adalah juga sejenis keputusan yang membawa akibat. Demikian juga menunda mengambil keputusan membawa akibat. Jadi secara tak terelakkan manusia setiap saat mengambil keputusan dan memikul tanggung jawabnya. Kita sering tidak mengambil suatu keputusan dan membiarkan masalah berlalu tanpa campur tangan. Sering kita berusaha mengelakkan masalah yang rumit, karena di dalamnya bercampur-aduk berbagai faktor, yang baik dan yang buruk. Sering kita tidak mengambil keputusan karena tidak mau melibatkan diri. Semua ini mempunyai akibat, baik dan buruk. Keputusan untuk bertindak adalah keputusan untuk tidak merubah keadaan.
Seandainya keadaan atau situasi tidak perlu diperbaiki atau tidak mungkin diperbaiki, kita tidak akan bertindak. Tetapi kalau situasi dapat diperbaiki, tetapi kita tidak berbuat apa-apa, maka itu merupakan keputusan yang salah. Sebagai contoh: penulis teringat masa perjuangan fisik 1945 di Sumatera Utara, semasa penulis bertugas sebagai sersan Marsuse Republik Indonesia di Prapat. Kalau misalnya sekelompok kecil orang Indonesia mengambil keputusan untuk tidak turut berjuang dalam revolusi kemerdekaan, mungkin mereka hanya ingin menunggu dan menonton saja. Pikir mereka, seandainya revolusi kemerdekaan berhasil, mereka akan bergabung pada negara yang baru, yang merdeka penuh itu, yaitu Republik Indonesia. Tetapi kalau revolusi kemerdekaan gagal, mereka akan mendukung penguasa kolonial. Meskipun orang yang demikian mungkin dianggap berpendirian netral, namun tingkah laku tersebut dinilai tidak terpuji, dan jelas tidak mumi. Seandainya sebagian besar penduduk Indonesia berpendirian netral, besar kemungkinan revolusi kemerdekaan tidak akan berhasil. Keputusan ”etis” yang demikian hanya sandiwara saja dengan berpura-pura netral.
Yang kita butuhkan ialah pengambilan keputusan secara aktif, bukan secara pasif membiarkan keputusan ditetapkan oleh orang lain. Dalam kasus tertentu keputusan perlu diambil secara aktif, dengan alasan yang telah dipertimbangkan dengan matang. Tidak baik menyerah kepada nasib. Menyerah kepada nasib berarti dengan pasrah menerima keadaan menjadi statis atau mati. Kita harus menjadi individu yang mengetahui kewajibannya dan tanggung jawabnya dengan memilih jalan hidup yang tepat. Dan bukan menjadi objek yang membiarkan hidup kita diombang-ambing oleh peristiwa dan zaman.
Banyak orang mengambil keputusan dengan bertitik tolak dari suatu kelemahan, suatu rasa takut atau kebimbangan bahwa keputusan itu mungkin salah. Memang keputusan yang salah sering membawa akibat yang berat. Bahkan keyakinan seratus persen pun tidak selalu menjamin, bahwa semua keputusan yang kita ambil itu adalah benar. Jadi, tidak ada manusia yang bebas dari akibat keputusan yang salah. Namun kita harus berani mengambil keputusan, kita harus berani mengambil risiko. Di negara Pancasila yang kita idam-idamkan setiap individu bebas memilih dan bertindak dan tidak perlu merasa takut, asal tidak bertentangan dengan ajaran Pancasila itu sendiri.