contoh gratifikasi

 Contoh Kasus Gratifikasi  

Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana korupsi yang “sangat dekat” dengan keseharian  masyarakat. Bahkan saking dekatnya, sampai-sampai banyak publiktidak sadar kalau gratifikasi  termasuk salah satu jenis tindak pidana korupsi. 

Simak saja berbagai praktik berikut:  

Seseorang memberikan parsel menjelang Idul Fitri kepada pejabat publik, memberi hadiah  kepada penyelenggara negara yang mengadakan resepsi pernikahan, memberikan voucher  berbelanja kepada pegawai negeri, dan sebagainya. Dalam masyarakat, hal itu sudah  lumrah, bukan? 

Ya, tetapi sekali lagi, Pemberian yang terkait dengan jabatan seperti itu atau gratifikasi,  merupakan salah satu tindak pidana korupsi.



Dalam gratifikasi, segala hadiah atau fasilitas berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman  tanpa bunga, tiket pesawat, cek perjalanan, liburan gratis, atau biaya pengobatan, tentu tidak  akan diberikan jika si penerima tidak menduduki jabatan tersebut. Artinya, ada harapan untuk  terjadinya “pemberian” timbal balik dari si penerima. Entah berupa kemudahan perizinan,  lulusnya penilaian dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya. 

Bagi pegawai negeri yang menerimanya dianggap melanggar Pasal 12B No. 31 Tahun 1999  juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun  1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 20  tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar. Penerimaan gratifikasi harus dilaporkan ke KPK dalam  jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.  

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali aktivitas yang mencerminkan perilaku koruptor,  namun belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berbagai perilaku tersebut,  kerap disebut sebagai perbuatan yang koruptif. Begitupun, meski tidak memiliki dampak  hukum, tetap saja masyarakat harus menghindari perilaku tersebut. Hal ini dimaksudkan, agar  perilaku tersebut tidak menjadi kebiasaan. Seseorang menjadi koruptor biasanya karena sudah  terbiasa dengan perilaku koruptif tadi. 

Meski sudah diatur demikian ketat, Penyelenggara Negara ada juga yang abai pada gratifikasi.  

Di media massa misalnya ada pejabat negara/pegawai negeri yang punya hajat  mengawinkan anaknya. Souvenir dari si pejabat tersebut untuk para tamu adalah iPod yang  harganya ratusan ribu rupiah. Untuk souvenir ini saja, pejabat tersebut harus merogoh  kantong hingga ratusan juta rupiah. Situasi ini jadi membingungkan terutama bagi  Penyelenggara Negara apakah harus diserahkan ke KPK karena sebagai upaya gratifikasi,  sementara beberapa pihak swasta melihatnya sebagai tanda cinta belaka dari mempelai  seperti halnya souvenir pernikahan lainnya.



Kasus yang sempat disorot media adalah Gubernur DKI saat itu.

Jokowi memperoleh gitar yang dikirimkan khusus oleh punggawa Metalica Don Trujillo dan  diberi tandatangan yang bersangkutan. Jokowi –yang kini Presiden- menyerahkan kepada  KPK untuk menilai apakah gitar tersebut termasuk gratifikasi atau bukan. Setelah  melakukan telaah, diputuskan oleh KPK gitar tersebut memiliki indikasi gratifikasi sehingga  tidak dikembalikan ke penerima hadiah. Akhirnya, gitar tersebut tidak dikembalikan ke 



penerima hadiah meskipun wakil si pemusik merasa kecewa hadiahnya dianggap sebagai  barang gratifikasi.



Studi tentang gratifikasi dan pengaruhnya terhadap pejabat publik pernah dilakukan oleh  Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK (2009) mengungkap bahwa pemberian hadiah  atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab  timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik kepentingan yang tidak ditangani  dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. 

Praktik penerimaan hadiah merupakan sesuatu yang wajar dari sudut pandang relasi pribadi,  sosial dan adat-istiadat, tetapi ketika hal tersebut dijangkiti kepentingan lain dalam relasi kuasa  maka cara pandang gratifikasi adalah netral tidak bisa dipertahankan. Hal itulah yang disebut  dalam Pasal 12B sebagai gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang terkait dengan  jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima. 

Dalam Pedoman Pengendalian Gratifikasi konteks Pasal 12B ini, tujuan dari gratifikasi yang  dianggap suap dari sudut pandang pemberi adalah untuk mengharapkan keuntungan di masa  yang akan datang dengan mengharapkan pegawai negeri/penyelenggara negara akan 

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya, demi kepentingan si pemberi  tersebut. Jadi, ketika pemberian tanpa pamrih sekalipun ke pihak-pihak yang memiliki  keterkaitan pekerjaan harus diwaspadai sebagai gratifikasi. Gratifikasi selalu dekat dengan  suap. Suap juga selalu dekat dengan tindak pidana Korupsi. 

Dalam kasus suap, makna dari unsur “berhubungan dengan jabatan” tersebut ditafsirkan oleh  Arrest Hoge Raad (Putusan Mahkamah Agung Belanda) tanggal 26 Juni 1916 sebagai berikut: 

a) Tidaklah perlu pegawai negeri/penyelenggara Negara berwenang melakukan hal-hal yang  dikehendaki atau diminta oleh pihak pemberi akan tetapi, cukup bahwa jabatannya  memungkinkan untuk berbuat sesuai kehendak pemberi; 

b) “berhubungan dengan jabatan” tidak perlu berdasarkan Undang-Undang atau ketentuan  administrasi, tetapi cukupjabatan tersebut memungkinkan baginya untuk melakukan apa  yang dikehendaki pemberi. 

Dalam kasus gratifikasi, makna unsur “berhubungan dengan jabatan” ditafsirkan lebih  sederhana. Hal itu dapat dilihat dari Putusan Pengadilan dengan terdakwa Gayus Halomoan  Partahanan Tambunan. Majelis Hakim dalam perkara tersebut tidak menyinggung aspek  berbuat atau tidak berbuatnya Gayus sebagai akibat dari pemberian gratifikasi secara rinci. 

Hakim menguraikan posisi Gayus sebagai Pegawai Negeri yang diangkat berdasarkan Surat  Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-1816/PJ.11/UP.14/2001 tanggal 31 Desember 2001 tentang  pengangkatan sebagai PNS pada Dirjen Pajak Departemen Keuangan dan SK No. KEP 75/PJ.01/ UP.53/2008 tanggal 11 April 2008 tentang pengangkatan sebagai Petugas Penelaah  Keberatan dan Banding Pajak. 



Last modified: Monday, 6 December 2021, 8:29 AM