HARGA

Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan secara sepihak dapat melakukan diskriminasi harga
terhadap pembeli yang satu dengan pembeli yang lain untuk suatu barang yang sama. Pasal 6 UU No.
5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan diskriminasi harga terhadap pelaku usaha
tertentu untuk membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pelaku
usaha lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Akan tetapi sebenarnya diskriminasi harga dapat dilakukan apabila ada suatu alasan
pembenaran untuk memberikan harga yang berbeda (an objective justification for the difference). Karena
di dalam praktik, di dalam dunia bisnis, ada banyak faktor-faktor pasar yang mengijinkan mengatur
membayar harga yang berbeda kepada pembeli yang berbeda untuk produk yang sama.294 Namun
demikian bagi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan melanggar larangan penyalahgunaan
posisi dominan jika pihak ketiga ditempatkan pada kerugian ekonomi yang nyata sebagai hasil dari
kebijakan harga yang diadopsi.

Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain
dinyatakan sama atau sejenis atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga. Harga suatu barang tertentu bagi konsumen dapat menjadi pengambil keputusan apakah konsumen akan membeli barang tersebut atau tidak. Oleh karena itu pada pasar produk yang sama atau sejensi harganya biasanya bersaing.

Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp. 4.000 sedangkan harga Pepsi satu botol Rp.3.900,
maka Coca Cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau sebagai barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca Cola satu botol Rp. 10.000, dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp. 5.000, maka Coca Cola dengan Pepsi bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca Cola.

Penyalahgunaan posisi dominan merupakan praktek yang memiliki cakupan luas. Ketika pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan supaya konsumennya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan basis “take it or leave it”membuat penentuan harga diluar kewajaran.

alam ilmu hukum persaingan usaha, umumnya penyalahgunaan posisi dominan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abusive)dan yang bersifat penyingkiran (exclusionary abusive)bentuk penyalahgunaan tersebutsebagai berikut:

  • Penyalahgunaan yang bersifat eksploutatifantara lain mengenakan harga yang terlalu tinggi (charging excessively highprice), melakukan diskriminasi (Discriminating),dan membayar terlalu murah kepada pemasoknya (paying low prices to suppliers);
  • Penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran antara lain menolak bekerja sama dengan pesaingnya (refusal to deal with competitor),menaikan biaya pesaing(raisingcompetitor cost),dan predatori harga (predatory pricing).

Sementara itu Wolfgang Jauk mengklasifikasikan bentuk-bentuk penyalahgunaan meliputi menolak untuk memasok (refusal to supply)dan penyalahgunaan harga (abusive pricing)yang dibedakan lagi menjadi diskriminasi harga (discrimination pricing) dan predatori harga (predatory pricing). Menolak untuk memasok adalah contoh klasik penyalahgunaan posisi dominan. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan sebagaimana pelaku usaha lainnya, memilih konsumen dan mitra usaha berdasarkan prinsip diskriminasi atas dasar pertimbangan ekonomi ( bisnis). Tetapi pelaku usaha dominan memiliki ruang gerak untuk menentukan konsumen dan mitra usahanya tanpa alasan objektif yang jelas, misal karena perbedaan suku, ras, status sosialdan lain-lain alasan yang merupakan alasan non-ekonomi(bisnis).

Selanjutnya, penyalahgunaan harga dibedakan menjadi dua bagian yang meliputi diskriminasi harga dan predatory pricing. Diskriminasi harga terjadi apabila tanpa alasan objektif yang jelas konsumen pada segemen pasar yang berbeda dikarenakan harga yang berbeda untuk barang atau jasa yang sama. Sedangkan predatory pricing umumnya digunakan oleh perusahaan dominan untuk menyingkirkan pesaingnya dipasar bersangkutan dengan cara menjual produknya dengan harga yang sangat harga, dibawah biaya rata-rata pesaingnya. Tetapi ketika pesaingnya tersingkir dari pasar, maka harga dikembalikan (normal) atau dinaikan lebih tinggi.

Dalam menelaah efek anti monopoli dari suatu merger, akuisisi, dan konsolidasi perusahaan, oleh hukum anti monopoli akan dilihat faktor-faktorsebagai berikut:

  • Harga yang berkolusi
  • Skala ekonomi yang tereksploitasi
  • Kekuasaan untuk monopoli (monopoli power)
  • Interdepedensi yang oligopolistik.

Sehubungan dengan ketentuan posisi dominan, terutama terkait denga penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) dalam pasal 28, ada kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 126 ayat (1) tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan: “Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentigan:

  • Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  • Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan dan;
  • Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha
Terakhir diperbaharui: Saturday, 12 June 2021, 11:59