JABATAN RANGKAP

Salah satu penilaian posisi dominan suatu pelaku usaha dapat juga dinilai dari afiliasi suatu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain. Hubungan terafiliasi ini diatur di dalam Pasal 26 tentang Jabatan Rangkap dan Pasal 27 tentang Kepemilikan Saham Silang UU No. 5 Tahun 1999. Hubungan afiliasi yang diakibatkan adanya jabatan rangkap oleh seseorang pada beberapa perusahaan atau kepemilikan saham silang di beberapa perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan pelaku usaha tersebut, karena pengaruh tersebut dapat mengendalikan perusahaan tersebut. Pada akhirnya pengaruh tersebut dapat mempengaruhi persaingan di pasar bersangkutan di industri tertentu.

Khusus pada BUMN jabatan rangkap dilarang berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, bahwa anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a) anggota Direksi BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau b) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jabatan rangkap tidak dilarang secara per se oleh UU No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi hubungan afiliasi melalui jabatan rangkap ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pelaku usaha yang diafiliasi. Salah satu bentuk perilaku yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat adalah jabatan rangkap sebagai direksi dan/atau komisaris. Suatu jababatan rangkap terjadi apabila seseorang yang sama duduk dalam dua atau beberapa dewan direksi perusahaan atau menjadi wakil dua atau beberapa perusahaan yang bertemu dalam dewan direksi satu perusahaan

Jabatan rangkap dapat terjadi akibat keterkaitan keuangan atau kepemilikan saham perusahaan. Jabatan rangkap dapat terjadi antara perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang sama secara horizontal dan antara perusahaan dengan perusahaan yang lain secara vertikal dan bahkan antara perusahaan yang tidak mempunyai keterkaitan kegiatan usaha satu sama lain yang disebut dengan jabatan rangkap konglomerat.

Oleh karena itu jabatan rangkap bukanlah suatu kebetulan. Akan tetapi keberadaan seseorang sebagai yang menduduki jabatan rangkap sadar atas kedudukan tersebut. Jabatan rangkap lahir bukan karena dibentuk akan tetapi lahir karena suatu perjanjian.302 Perjanjian antara pemegang saham yang mengambil alih dengan perusahaan yang diambilalih. Dapat juga terjadi pemegang saham meminta kepada pelaku usaha yang diambil alih untuk menempatkan seseorang dari perusahaan pengambil alih di perusahaan yang diambil alih di dewan direksi atau dewan komisaris.

Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha ingin melakukan jabatan rangkap? Ada banyak alasan mengapa melakukan jabatan rangkap, tetapi menurut teori ilmu sosial ada 4 teori utama mengapa pelaku usaha melakukan jabatan rangkap, yaitu berikut ini303

1.                  Teori keunggulan (predominant theory) dalam organisasi industri dan sosiologi, adalah bahwa perusahaan menggunakan jabatan rangkap untuk mengurung (cooptation) (baca: menguasai). Perusahaan menggunakan jabatan rangkap sebagai alat untuk mengakses dan bertukar informasi dan sumber daya dalam hal mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan obligasi di antara mereka dan pesaingnya.

2.                  Perusahaan menggunakannya sebagai alat monitoring. Pelaku usaha menunjuk seseorang duduk di dewan direksi perusahaan lain untuk melakukan monitoring perilaku pelaku usaha tersebut.

3.                  Jabatan rangkap untuk meningkatkan reputasi perusahaan. Komposisi dewan direksi dan komisaris adalah penting bagi pemegang saham dan investor, dan menunjuk orang yang terkenal, individu yang dihormati di industri dalam dewan direksi dapat memberikan suatu pengakuan perusahaan.

4.                  Jabatan rangkap digerakkan oleh ambisi individu itu sendiri. Seseorang ingin membuat karier profesional sebagai seorang direktur, untuk itu, dia harus mencari kesempatan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, jabatan rangkap diciptakan karena keinginan direktur tersebut untuk remunerasi keuangan dan reputasi sebagai direktur.

Menurut Mezruchi, ada tiga alasan utama mengapa melakukan jabatan rangkap, yaitu yang

pertama adalah kolusi, kooptasi, dan monitoring, yang kedua kemajuan karier (carrier advancement),

dan yang ketiga adalah kohesi sosial (social cohesion).304 Mengenai kooptasi dan pemantauan adalah

mungkin untuk menentukan kooptasi sebagai “penyerapan unsur berpotensi mengganggu dalam

struktur pengambilan keputusan organisasi”. Dalam perspektif ini, perusahaan mengundang pada

wakil dewan mereka dari berbagai sumber daya dalam rangka untuk mengurangi ketidakpastian

lingkungan dan mempertahankan posisi mereka di pasar.

Ada beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan oleh adanya jabatan rangkap305, yaitu:

1. menimbulkan keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan jumlah dana (keuangan)

yang sangat signifikan kepemilikan bersama secara silang atas saham;

2. dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara seperti pengawasan administratif

terhadap investasi yang dapat melahirkan strategi bersama di antara perusahaan terkait dengan

masalah harga/tarif, alokasi pasar, praktik monopoli serta kegiatan pasar lainnya;

3. menimbulkan perjanjian integrasi vertikal pada kegiatan yang dilakukan oleh pemasok dan

pelanggan, dapat menghilangkan semangat untuk melakukan kegiatan usaha di daerah pesaing

serta menimbulkan persetujuan timbal balik di antara mereka; dan

4. jabatan direksi apabila tidak diawasi secara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk

mengontrol/mengendalikan anak perusahaan secara berlebih.

Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 melarang seseorang menjadi komisaris dan direksi pada suatu perusahaan dan merangkap jabatan di perusahaan yang lain sebagai direksi atau komisaris apabila perusahaan-perusahaan tersebut;

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaa tidak sehat.

Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Artinya, dengan keberadaan seseorang menjabat direksi atau komisaris di dua perusahaan yang berbeda yang melakukan kegiatan usaha yang sama, terjadi perilaku antipersaingan usaha di pasar yang bersangkutan. Penerapan Pasal 26 terlebih dahulu dilakukan penilaian atas posisi dominan pelaku usaha di mana seseorang menduduki jabatan rangkap pada dua perusahaan yang berbeda.

Apabila pelaku usaha diduga melakukan tindakan antipersaingan karena adanya jabatan rangkap, maka dalam pembuktian perilaku antipersaingan tersebut harus diawali dengan penilaian apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 25 ayat (2). Jika pelaku usaha yang saling terkait tersebut mempunyai posisi dominan, hal berikutnya yang perlu dinilai adalah apakah seseorang yang menduduki jabatan rangkap mempunyai pengaruh terhadap perusahaan terkait, terkait dengan kebijakan perusahan mengenai harga, strategi pemasaran perusahaan, managemen perusahaan dan lain-lain. Dengan demikian penegakan ketentuan Pasal 26 adalah dengan menggunakan pendekatan rule of reason.


Last modified: Wednesday, 9 June 2021, 11:00 AM