PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG DILARANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1999

1. Pengertian Perjanjian

      Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana sesorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksankan sesuatu hal.33 Dalam pengertian lain perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pihak pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam pasal 1313 mengartikan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Maka pada prinsipnya secara esensi tidak ada suatu perbuatan yang berarti, hanya saja dalam undang-undang defenisi yang diberikan telah secara tegas menyebutkan pelaku usaha sebagai subjek hukumnya, yaitu setiap orang, perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.

Secara umum perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Pengertian secara umum ini tidak jauh berbeda dengan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Dan sebagai konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut kecuali penarikan atau pencabutan tersebut disepakati secara bersama oleh para pihak.

Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturannya yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian. Adapun perjanjian dapat dibedakan menjadi perjanjian horizontal dan vertikal;

a. Perjanjian Horizontal

    Perjanjian yang bersifat horizontal adalah perjanjian yang dilakukan secara implisit (diam-diam) atau eksplisit (terang-terangan) oleh pelaku usaha di level perdagangan yang sama, yang bertujuan untuk membatasi kemampuan para pesaingnya dalam melakukan kegiatan usaha di bidang produk sejenis. Perjanjian semacam ini biasanya terjadi dalam asosiasi-asosiasi perdagangan, yang bentuknya antara lain berupa pertukaran informasi tentang perhitungan statistik, informasi operasional, sampai dengan kesepakatan atau penetapan harga yang bertujuan mengesampingkan pelaku usaha baru.

b. Perjanjian Vertikal

    Perjanjian yang bersifat vertikal adalah perjanjian yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis antara pelaku usaha dalam tingkat perdagangan yang berbeda, misalnya antara pabrikan dan agen/distributor, atau antara distributor dan grosir, atau antara grosir dan pengecer. Bentuk perjanjian vertikal antara lain perjanjian untuk menetapkan sifat dan kualitas produk yang dijual, harga penjualan kembali, kuantitas produk, pasar geografik atau pelanggang yang akan atau tidak akan dilayani, dan menetapkan keuntungan total secara kolektif dengan batasan-batasan eksternal.

2. Syarat Sah Suatu Perjanjian

    Menurut pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian diperlukam empat syarat yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal

 Dari dua persyaratan pertama dan kedua diatas dalam ilmu hukum disebut dengan syarat subjektif, karena berhubungan langsung dengan subjek hukum yang melakukan perjanjian tersebut. Sedangkan dua persyaratan terakhir lebih terkait dengan objek dari perjanjian tersebut, yang dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat objektif.

3. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang

    Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1999 terdapat 10 (sepuluh) macam perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Perjanjian-perjanjian yang dilarang dibuat tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat:

a. Oligopoli

Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.

Secara sederhana oligopoli adalah monopoli beberapa pelaku usaha, yaitu kondisi ekonomi dimana hanya ada beberapa perusahaan menjual barang yang sama atau produk yang standar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oligopoli didefenisikan sebagai keadaan pasar yang produsen penjual barang hanya sedikit sehingga hanya mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga. Dalam Undang-Undang Antimonopoli dijelaskan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, hal ini disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1).

b. Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)

Mengenai perjanjian penetapan harga ini dibedakan dalam 4 macam seperti yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 yaitu: 1). Penetapan harga, 2). Diskriminasi harga, 3). Penetapan harga dibawah harga pasar 4). Perjanjian dengan persyaratan tertentu. Dijelaskan dalam Undang-Undang Antimonopoli yaitu menetapkan harga tertentu atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pasar bersangkutan yang sama Pasal 5 ayat (1).

c. Pembagian wilayah

Pembagian wilayah adalah Perjanjian yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu barang dan atau jasa tertentu sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat Pasal 9.

d. Pemboikotan

Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan (boycott). Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, Boycott atau boikot itu mengandung arti penghentian pasokan barang oleh produsen untuk memaksa distributor menjual kembali barang tersebut dengan ketentuan khusus. Boikot dapat diartikan juga sebagai pelanggaran impor atau ekspor tertentu, atau pelanggaran sama sekali melakukan perdagangan internasional dengan negara tertentu oleh negara-negara lain. Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.5 tahun 1999, yang mengatur:

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebut:
a) Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau
b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.

Pemboikotan seperti yang diatur dalam Pasl 10 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain. Pasal 10 ayat (1) memang tidak mensyaratkan adanya dampak negatif dari perjanjian pemboikotan tersebut. Akan tetapi, Pasal 10 ayat (2) mensyaratkan adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat pemboikotan atau halangan perdagangan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan.

e. Kartel

Kamus Hukum Ekonomi mengartikan kartel (cartel) sebagai “Persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan dimaksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli”

Dengan demikian, kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga dan/atau wilayah pemasaran suatu barang dan/atau jasa sehingga diantara mereka tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-Undang No.5 tahun 1999 yang mengatur bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No.5 tahun 1999, perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjiantingkat produksi, tingkat harga, dan/atau wilayah pemasaran atau suatu barang,jasa, atau barang dan jasa., yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi dan/atau persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya.

f. Trust

Trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseorangan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa.

Mengenai trust ini diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Antimonopoli, yang selengkapnya berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.

g. Oligopsoni

Oligopsoni adalah perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 Undang-Undang Antimonopoli. Larangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 Undang-Undang No.5 tahun 1999 yang menetapkan :
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


Terakhir diperbaharui: Wednesday, 17 March 2021, 07:48