Bentuk dan Sifat/Karakteristik Barang

           Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentifikasi apakah
suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif. Dikatakan secara objektif, karena produk
yang berbeda tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak.
Misalnya apakah soft drink Coca Cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing.
        Dalam hal ini Coca Cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat
minumannya. Sebaliknya, soft drink teh botol Sosro apakah dapat disebutkan barang yang sama
dengan Coca Cola dan Pepsi? Walaupun secara fisik kemasannya Teh Botol Sosro, Coca Cola
dan Pepsi dikemas dalam botol, maka teh botol Sosro dengan Coca Cola dan Pepsi belum dapat
ditetapkan ketiga produk tersebut berada pada pasar produk yang sama.

         Bab V UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang posisi dominan. Undang-undang ini mengartikan posisi dominan sebagai keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Rumusan tersebut menggunakan dua pendekatan. Pertama, posisi dominan dilihat dari pangsa pasar yang dimiliki satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha terhadap pelaku usaha saingannya (kriteria struktur pasar). Kedua, adalah dengan melihat kemampuannya untuk memimpin penentuan harga barang/jasa sehingga apa yang dilakukannya menjadi acuan bagi pelaku-pelaku usaha pesaingnya (kriteria perilaku). UU No. 5 Tahun 1999 mengkombinasikan penggunaan dua pendekatan ini bersama-sama.

Pasal 25 Ayat (2) menyatakan, satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ada dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, posisi dominannya ditentukan dari penguasaan pangsa pasar sebesar 75% atau lebih. Posisi demikian berpotensi mengakibatkan si pelaku usaha tidak lagi mempunyai pesaing yang berarti dalam pasar yang bersangkutan.

Namun, posisi dominan tidak serta merta merupakan pelanggaran. Yang penting, posisi dominan ini tidak disalahgunakan. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dinyatakan dalam Pasal 25 Ayat (1) yaitu jika pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung:

  1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas;
  2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
  3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, undang-undang melarang perbuatan rangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris, pemilikan saham pada beberapa perusahaan barang/jasa sejenis. Juga penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, ikut menjadi perhatian UU No. 5 Tahun 1999 ini. Semua perbuatan yang menuju ke posisi dominan tersebut wajib memperhatikan akibat-akibatnya terhadap persaingan usaha.

Terlepas dari itu semua, UU No. 5 Tahun 1999 membuat pengecualian-pengecualian. Hal ini diatur dalam Bab IX tentang Ketentuan Umum. Ada sembilan bentuk pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50, seperti perjanjian di bidang hak kekayaan intelektual, perjanjian keagenan, perjanjian untuk tujuan ekspor, kegiatan usaha kecil dan koperasi. Badan-badan usaha milik negara dan atau badan usaha/lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah, tetap dimungkinkan untuk memonopoli barang/jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, sepanjang hal itu diatur dengan undang-undang.

Sanksi

UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang diintroduksi dalam undang-undang ini, yaitu tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan. Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) yang lembaganya akan dijelaskan kemudian, hanya berwenang memberikan sanksi tindakan administratif. Sementara pidana pokok dan pidana tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini peradilan. Yang dimaksud dengan tindakan administratif adalah:

  1. penetapan pembatalan perjanjian;
  2. perintah untuk menghentikan integrasi vertikal;
  3. perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktek monopoli dan anti-persaingan dan/atau merugikan masyarakat;
  4. perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
  5. penetapan pembatalan penggabungan/peleburan badan usaha/pengambilalihan saham;
  6. penetapan pembayaran ganti rugi;
  7. pengenaan denda dari 1 milyar s.d. 25 milyar rupiah.
Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan KPPU itu bersinggungan dengan semua pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, semua pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif. Deskripsinya adalah sebagai berikut:


Terakhir diperbaharui: Saturday, 12 June 2021, 11:26