Perkembangan Retorika Yunani
Retorika berkembang pada masa Yunani. Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa pada masa inilah retorika mengalami masa kejayaan. Pada masa ini orang Yunani banyak memperkuat kemuliaan hidupnya dengan seni dan buah pikiran. Ilmu pengetahuan pun berkembang yang ditujukan untuk mencari kebenaran sehingga lahirlah filsafat.
Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan hal-hal yang abstrak secara jernih dan jelas. Konsep tentang masyarakat dan politik adalah abstrak, yakni menyangkut tujuan didirikannya negara, sistem pemerintahan, dan kepemimpinan. Kemampuan menggunakan bahasa menjadi incaran bagi orang-orang yang ingin masuk dalam jajaran elit politik Yunani.
Keterampilan menggunakan bahasa mendapat perhatian dari penguasa pada masa itu untuk merebut kekuasaan dan melebarkan pengaruhnya. Bahkan para penguasa itu menyewa agitator untuk memperkuat pengaruh mereka di mata masyarakat. Para agitator ini mempengaruhi pendapat umum dengan menggunakan alasan-alasan keagamaan dalam pernyataannya. Perkembangannya, para agitator ini mempelajari seni berbicara untuk meningkatkan penghasilannya karena mereka dibayar.
Ada yang menyebut agitator ini sebagai kaum Sophis yang artinya menggunakan argumen-argumen yang tidak sah. Para Sophis ini berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sambil berbicara di depan umum. Jika dirunut dari asal katanya, Sophis berasal dari kata sophos yang artinya cerdik pandai karena ahli dalam berbagai bidang ilmu, seperti politik, bahasa, dan filsafat. Dalam perkembangannya menjadi ejekan atau sebutan bagi mereka yang pandai bersilat lidah dan memainkan kata-kata dalam berbicara. Representasisnya adalah agitator yang dibayar sehingga muncul konotasi yang negatif. Tokoh-tokoh kaum Sophis yang terkenal antara lain Gorgias dan Protagoras. Protagoras menyebut kelompoknya sophistai atau “guru kebijaksanaan”. Sejarawan menyebut mereka kelompok Sophis.
Mereka berjasa mengembangkan retorika dan memopulerkannya. Retorika bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik manipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Banyak orang yang pandai berpidato dan bertanding pidato. Bila ada pertandingan, masyarakat menikmati hal itu seperti menonton pertandingan tinju. Dalam perkembangan selanjutnya kaum Sophis mendapat citra negatif karena hal itu. Namun demikian peran kaum Sophis dalam mempopulerkan retorika tidak dapat diabaikan.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni ini diperintah oleh para tiran. Tiran, dimana pun dan pada zaman apapun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu tidak ada pengacara dan tidak ada serfitikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi
nama Techne Logon (Seni Kata-Kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”.Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan kita bertanya “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri?”. Selanjutnya ketika seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya, kita bertanya “Ia pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika menjadi mirip ilmu “silat lidah”. Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian; pembukaan, uraian, argumen, penjelasan, tambahan, dan kesimpulan. Dari sini para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Selain Corax, terdapat banyak tokok retorika yang lain pada masa Yunani, di antaranya Georgias, dari kaum Sofisme. Ia yang mengatakan bahwa kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan. Ia menekankan tentang pentingnya bunyi bahasa sebagai unsur yang memperkuat tuturan atau pengungkapan dengan bahasa. Unsur bunyi itu antara lain: pertautan bunyi (aliterasi), pengulangan bunyi pada konsonan (disonansi), antitesis, dan paralelisme. Menurutnya, penggunaan unsur bunyi itu akan dapat memperkuat persuasi dalam ungkapan.
Gorgias merupakan guru retorika yang pertama. Ia membuka sekolah retorika yang mengajarkan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu (berbicara tanpa persiapan). Ia meminta bayaran mahal dari murid-muridnya. Gorgias bersama dengan Protagoras menjadi ‘dosen terbang’ yang mengajar berpindah dari satu kota ke kota lainnya (Rakhmat, 1994). Kelompok mereka disebut dengan sophistai. Sekolah tersebut dibuka dalam rangka memenuhi ‘pasar’ akan kemampuan untuk berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Sejarawan menyebut mereka dengan kelompok Sophis. Retorika bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika.
Sokrates menyatakan bahwa retorika adalah demi kebenaran. Dialog adalah tekniknya, karena dengan dialog kebenaran akan timbul dengan sendirinya (Susanto, 1975). Teknik dialog Sokrates mengikuti jalan deduksi, yaitu menarik kesimpulan-kesimpulan untuk hal-hal yang khusus setelah menyelidiki hal-hal yang berlaku pada umumnya.
Tokoh lainnya adalah Isokrates. Ia mendirikan sekolah retorika dengan menitikberatkan pada pendidikan pada pidato politik. Menurutnya, hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk membentuk pendapat-pendapat yang tepat mengenai masyarakat. Ia percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat. Retorika tidak dapat dipisahkan dari politik dan sastra. Namun tidak semua orang dapat memperoleh pelajaran ini. Retorika menjadi pelajaran yang elit. Isokrates mendirikan sekolah retorika tahun 391 SM dengan penekanan pada penggunaan kata-kata dengan susunan yang jernih namun tidak berlebihan, rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan
yang lancar. Sekolah Isokrates menitikberatkan pada pidato- pidato politik (political oratory) yang menghubungkan persoalan aktual dengan perkembangan politik.
Isokrates mencuatkan retorika dengan penekanan pada proses kreatif dalam penggunaan bahasa yang dapat menimbulkan keindahan atau seni bahasa, bukan pada penggunaan bahasa yang ketat akan kaidah-kaidah bahasa. Ia menyarankan bahwa meskipun retorika menekankan pada unsur kreativitas penggunaan bahasa, bukannya hal itu tidak bisa dipelajari, bukan karena sekedar bakat, tetapi penggunaan bahasa dalam bentuk retorika yang persuasif itu dapat dipelajari dan dapat dilatihkan. Perhatiannya yang besar terhadap penggunaan bahasa dalam retorika, dapat kita lihat melalui pandangan-pandangannya sebagai berikut:
a. Kemampuan berbicara amat diperlukan dalam mengembangkan seni berbahasa.
b. Seorang orator harus menguasai berbagai bentuk wacana.
c. Setiap tuturan yang digunakan harus disesuaikan dengan situasinya.
d. Setiap orang mempunyai gaya tuturan yang berbeda, dan itu diperlukan untuk menjadi orator yang khas.
e. Wacana politik tidak harus dilafalkan, tetapi harus dikuasai dalam praktik.
Isokrates dikenal sebagai “political essayist” yang pertama. Gagasan-gagasan lain yang terkenal dari Isokrates adalah pendapat yang terbentuk di bawah pembimbingan lebih baik daripada tindakan-tindakan praktis. Inti pendidikan adalah kemampuan membentuk pendapat- pendapat yang tepat mengenai masyarakat sehingga diharapkan orang mampu mengeluarkan pendapatnya dengan tepat.
Plato mengemukakan pandangan yang amat ekstrem terhadap retorika. Di satu pihak, ia mencela retorika sebagai keterampila membual, omong kosong, dan mengutamakan keindahan. Di pihak lain, ia memuji retorika sebagai keterampilan untuk keberhasilan komunikasi. Pandangannya yang mencela retorika antara lain:
a. Retorika adalah keterampilan dan ketangkasan berbicara untuk menyenangkan hati orang lain.
b. Retorika adalah cara orang berbicara untuk menjilat.
c. Retorika tidak ada hubungannya dengan seni berbicara, tetapi merupakan alat untuk membujuk.
Sedangkan pandangan Plato yang memuji retorika antara lain:
a. Retorika adalah kemampuan berbicara yang mengandung kebenaran. Kebenaran ditempatkan pada bagian utama dalam retorika. Seorang orator harus mempersiapkan kebenaran terhadap apa yang ia ingin katakan. Persuasi itu justru terletak pada kebenaran yang ia katakan.
b. Dalam retorika ada logika. Oleh karena itu seorang ahli retorika harus ahli logika. Logika tersebut dapat dibahasakan menurut kemampuan yang mengungkapkan. Esensinya, logika tetap harus mendasari retorika. Hanya karena kemampuan dalam mengungkapkan sajalah akhirnya ia dapat mempersuasi.
c. Retorika mengandung kesatuan wacana yang utuh. Ada pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian-bagian ini saling berkesesuaian. Karena itu, ahli retorika harus mengor- ganisasikan bagian-bagian itu dengan baik jika ingin berhasil menyampaikan pesan komunikasi.
d. Retorika mengandung cara penyajian (delivery) yang baik. Cara penyajian yang baik disertai penggunaan gaya
bahasa yang baik pula. Jadi retorika menggunakan cara penyajian yang baik dan menggunakan gaya bahasa yang baik dalam menyampaikan pesan komunikasi.
e. Retorika mengandung nilai moral yang luhur. Retorika bukan sekedar mempersuasi tanpa memperhatikan hal-hal lain. Karena itu orator harus dapat mempertanggung- jawabkan apa yang ia sampaikan. Di sinilah letak nilai moral retorika.
Bagi Plato retorika memegang peranan penting bagi persiapan untuk menjadi pemimpin. Retorika penting sebagai model pendidikan, sarana mencapai kedudukan dalam pemerintahan, dan mempengaruhi rakyat. Aristoteles merupakan tokoh yang penting dalam retorika karena ia mencoba menegakkan retorika sebagai ilmu. Kemampuan Aristoteles menegakkan retorika sebagai ilmu tidak terlepas dari kemampuannya pada bidang-bidang lain, seperti ahli pikir (filsuf), ahli matematika (logika), ahli bahasa (berpidato), ahli estetika (seni dan etika).
Semua keahliannya itu merupakan unsur-unsur yang diperlukan dalam retorika, untuk menjadikan retorika sebagai ilmu. Ia berpendapat bahwa retorika termasuk ke dalam filsafat, sedangkan tokoh lain menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian. Ini terdapat pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan, memerintah, mendorong, dan mempertahankan sesuatu. Aristoteles merupakan murid Plato yang paling cerdas. Pada usia 17 tahun ia sudah mengajar di akademi yang didirikan Plato. Ia menulis tiga jilid buku berjudul De Arte Rhetorica, yang di antaranya berisi lima tahap penyusunan satu pidato atau
Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric) yang terdiri dari Inventio (penemuan), Dispositio (penyusunan), Elocutio (gaya), Memoria (memori), dan Pronounciatio (penyampaian).
a. Inventio (penemuan)
Pada tahap ini pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dans tatus yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus menyentuh hati khalayak: perasan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emosional (emotional appeals). Ketiga, Anda meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak melalui otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar, yaitu entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” yang artinya di dalam dan “thymos” yang berarti pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan.
Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana diketahui, silogisme terdiri dari tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Sebagai contoh “Semua menusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita” (premis mayor). “Anda manusia” (premis minor). “Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama” (kesimpulan). Ketika digunakan untuk mempengaruhi seseorang supaya mengasihi orang yang menderita, dapat menggunakan kalimat “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita”. Ucapan yang dicetak miring menunjukkan silogisme yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, dapat pula menggunakan contoh. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif kita membuat kesimpulan umum. Misalnya dalm kalimat “Sembilan dari sepuluh bintang film meng- gunakan sabun Lux”. Jadi Lux adalah sabun para bintang film.
b. Dispositio (penyusunan).
Pada tahap ini pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar bergungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
c. Elocutio (gaya)
Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa ang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata- kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
d. Memoria (memori).
Pada tahap ini pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
e. Pronountiatio (penyampaian)
Pada tahap ini pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya dengan hypocrisis. Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan anggota badan.
Demosthenes. Pendapatnya adalah mengenai retorika dalam demokrasi. Ketika demokrasi menjadi sistem pemerintahan, dengan sendirinya masyarakat memerlukan orang-orang yang mahir berbicara di depan umum. Penekanan retorika menurut Demosthenes adalah semangat yang berkobar-kobar, kecerdasan pikiran. Ia mengem- bangkan gaya bahasa yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Ia adalah ahli pidato yang ulung dan ahli politik.
Sebelum menjadi orator terkenal, ia mengalami tekanan batin dan rasa takut yang besar. Namun berkat ketabahan dalam latihan, ia dapat mengatasi semua kesulitannya.
Demosthenes menjadi pemimpin partai yang anti Macedonia di Athena. Pada waktu itu seluruh Yunani diajak memberontak terhadap Raja Philippus II dari Macedonia yang diserang dengan berbagai pidatonya “philippica” yang berarti pidato serangan. Ia dapat dikalahkan kemudian lari ke Aegina dan tinggal di sana sampai Iskandar Zulkarnain meninggal dunia. Ia kemudian kembali ke Athena lagi dan melakukan pemberontakan, namun kalah juga. Kemudian ia bunuh diri dengan meminum racun. Setelah bangsa Yunani dikuasai oleh bangsa Macedonia dan Romawi, berakhirlah masa kejayaan ilmu retorika Yunani. Retorika tinggal sebagai ilmu yang dipelajari di sekolah-sekolah.